Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2017

Jendela di lantai 25

Aku terbangun dari tidurku. Tubuhku terasa dingin dan aku menarik selimut untuk semakin membenarmkan tubuhku disana. Agak samar-samar aku mulai mengingat bahwa aku tidak berada di kamarku sendiri. Akh .. aku kemudian menghela nafas panjang. Mengingat bahwa sudah hampir 12 jam aku berada di tempat ini.  Aku melihat sosoknya yang berdiri menghadap ke arah jendela besar yang terdapat tepat di depan tempat tidur ini. Aku selalu menyukai punggungnya. Melihat sosoknya yang tegap disana, seakan dunia hanya miliknya dan si langit. Aku suka melihat bagaimana siluetnya terbentuk dari remangnya kamar ini dan memantul ke dinding di sebelahnya.  "Sudah bangun?" ia seakan terkaget melihat aku sudah duduk dengan memeluk selimut dengan erat di tengah-tengah tempat tidur.  Aku hanya mengangguk. Sedikit tersipu, mengingat aku hanya terbungkus oleh selimut ini dan tidak ada helai kain lainnya. Tiba-tiba ia menghampiri tempatku duduk dan membelai rambutku yang berantakan, " You

Muara

Kau adalah puisi hati Di kala rindu tak bertepi Ku ingin kau ada saat ku membuka mata Hinggaku menutupnya kembali Kau sirnakan kabut kelabu Di savana pencarianku Bagai embun pagi kau Lepaskan dahaga kemarau hati Kaulah lukisan pagi yang ku kembar untuk senjaku Kaulah selaksana bunga yang warnai musim semiku Di kala hati ini Gundah Kau membuatnya menjadi cerah Kaulah matahariku dan kaulah samudra Tempat hatiku bermuara Kau jawaban dari doaku Yang akhiri penantianku Bagai bintang jatuh Kau hadirkan harapan di dalam Hati Kaulah deburan ombak yang pecahkan batu karangku Kaulah gugusan bintang yang hiasi malam gelapku Di kala hati hati ini Gundah Kau membuatnya menjadi cerah Kaulah matahariku dan kaulah samudra Tempat hatiku bermuara

Literasi

Malam ini terlihat lebih sunyi dari biasanya. Mungkin karena ini hari Senin dan bukan waktu yang biasanya dihabiskan para pekerja metropolitan untuk menghabiskan waktu di tempat ini. Tempat ini belum pernah menjadi pilihan pertamaku, tetapi hanya untuk malam ini aku rindu untuk menegak alkohol dengan kadar yang lebih tinggi dari bir-bir minimarket.  Sudah lebih dari dua pramusaji bertanya padaku apakah aku menunggu orang lain dan untuk kesekian kalinya pula aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Mulutku asam. Entah karena memang aku belum mengisi perutku dengan makanan solid atau karena jeruk nipis yang aku hisap setelah menegak tequila  yang rasa pahitnya tidak mengguyur beban di kepalaku.  Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya dimana aku akan terbiasa tenggelam oleh pekerjaan yang tidak ada habisnya. Malam ini, aku muak dengan semua tugas yang tidak kunjung berakhir. Entah aku muak atau mungkin berita yang kudengar hari ini terlalu memuakkan untuk tidak dihapus d