Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

kegalauan di tengah malam, menjelang akhir desember ...

Malam ini, saya sedang mencoba untuk menjamah waktu-waktu saya yang sudah berlalu selama hampir satu tahun ini. Di akhir tahun kemarin, saya sempat mencoba untuk membuat beberapa target yang ingin saya capai di tahun ini. Saya memulainya dengan cukup pesimis dan ketakutan yang sangat besar. No wonder, kalau mungkin di tahun ini saya cukup menjadi orang yang mudah menyerah pada mimpi-mimpi saya. Well .. moment of truth then .. Selama hampir satu tahun ini, saya nggak tahu apa yang saya mau. Saya terlanjur membangun sebuah mimpi yang besar bertahun-tahun yang lalu. Yang selalu membuat saya mencoba untuk menatap ke depan dengan penuh optimisme. Entah dengan cita-cita untuk lulus dengan target waktu 3.5 tahun, yang menurut saya waktu itu pasti cukup memungkinkan, secara saya juga nggak bodoh bodoh banget. Tapi, kenyataanya, saya sudah hampir memasuki tahun ke 4 saya di bangku kuliah, dan saya belum mendekati tanda-tanda kelulusan. Semua itu membuat saya cukup 'freak out'. Saya mera

hujan sudah turun, kamu dimana?

p.s : play the music while you're reading this post .. :) Hari ini sudah hari Kamis. Saat ini sedang hujan. Sama seperti waktu yang kamu janjikan padaku dulu, ketika kamu bilang kamu mau pergi. Katamu sebentar saja. Dan, kamu akan datang ketika hari Kamis turun hujan. Entah itu keberuntunganmu atau mungkin hanya sebuah ketidaksengajaan. Hampir selama dua bulan ini, hujan tidak pernah turun di hari Kamis. Dan .. selama itu pula, aku hanya duduk seharian penuh menunggu hujan turun di hari Kamis. Hari ini hujan sudah turun. Aku sudah berdandan, tepat seperti yang kamu minta. Aku menggunakan gaun putihku satu-satunya, dulu yang pernah kamu beri padaku di hari kelulusanku. Kamu bilang aku seperti malaikat, malaikat yang terikat oleh iblis seperti kamu. Hujan sudah turun . . awalnya hanya rintikan biasa, ketika aku mulai menorehkan berbagai macam make up di wajahku. Menunggu kamu untuk datang dan melihat aku dengan pesona maksimal yang bisa aku tunjukkan. S

sebelum mimpi itu indah

Pagi ini, matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinarnya. Sungguh, aku masih ingin sedikit menikmati nikmatnya kasur ini. Tapi, sepertinya orang-orang di luar sana sudah sangat bersemangat untuk menyambut hari yang ditunggu-tunggu ini. "Nak, udah bangun kan? Sholat dulu ya. Abis itu langsung mandi." teriak salah satu suara di luar sana. "Ehm ... eh?" aku yang masih terkejut diantara ambang kesadaranku mulai mengerjap-ngerjapkan mata. Yah, sudah saatnya untuk bangun sepertinya. "Udah bangun belom sih?" tiba-tiba kepala mungil muncul dari balik pintu kamarku. "Udah dek, sana pergi." dengan sebal aku menjawab pertanyaan itu. Sungguh menyebalkan. Bertahun-tahun hidup bersama mereka, apa masih belum hafal ya kalau aku itu benci banget diteriakin kalo pagi-pagi begini? Aku segera bangkit dari nyamannya tempat tidurku. Mengambil air wudhu dan mulai menunaikan kewajibanku pada Sang Pencipta. Rasanya aneh. Aku seperti sedang

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A

ke-naif-an

"Untuk seseorang yang punya pengalaman cinta segudang kayak loe, ternyata loe tuh naif banget ya!" Kata-kata itu terasa menujam langsung dalam benakku. Ada perasaan tidak terima. Ada rasa tidak ingin mengakui bahwa semua ini memang benar. "Naif .. Naif ..." Sebuah kata yang aku coba ulang berkali-kali di dalam otakku yang di saat itu juga sedang berusaha untuk menentang sebuah kesetujuan. Apa iya aku ini begitu polos, lugu, kekanak-kanakan, naif .... ? Di ruangan ini, buku-buku yang seakan-akan turut berbicara padaku, menghakimiku, seakan-akan membuat tempat ini terasa begitu sempit. Aku tidak bisa bernafas. Aku tidak mau mengakuinya. Aku mau lari ...... lagi. Aku mau lari dari kenyataan bahwa semua ini bukanlah salahku. Bahwa semua ini adalah salah seseorang yang menempatkan aku di jurang paling dalam. Seseorang yang tanpa tahu diri membuatku bersimpuh darah dan lumpuh. Dan, dari semua dosa yang ia berikan padaku, apakah semua ini harus aku akui sebagai sebuah kesa

Take a chance with me

How do you know that I'm the one? No, I don't. Then? Then what? Then, how can you possibly know that we're meant to be together? I don't. I've never said it either, have I? No. So, it's possible if we're not meant to be together? So possible. And you want that? What I want is not the same. Wait a second, you just said that it's a possibility that we're not meant to be together. Yes, it is. I can't predict it, can I? So, what if actually we're not meant to be together? Then I think we should be separated. When? I don't know. I don't know whether you're not the one also. So, I guess we'll have the chance to be separated or be together in an equal level. And it has been arranged by the Chairman? Yes. But, we still have the free will. And what if we still manage to be together and we're not happy. We couldn't say being separated makes us happier also. So, would you take the chance of trying to have an unhappy life with me?

lukisanku di atas kanvasmu

Namanya Bari Natanegara. Seorang laki-laki yang aku kenal tidak sengaja di tempat ini. Cafe langgananku selama aku kuliah di Yogyakarta. Ternyata ia juga merupakan seorang pelanggan tetap cafe itu. Kami hanya tidak pernah bertemu di waktu yang sama, kecuali hari itu. Ketika ia mulai membentangkan kanvasnya dengan lebar dan memasang setting cafe itu sebagai latar dari lukisannya. Termasuk aku, sebagian kecil dari latar itu. Saat itu juga, aku mulai jatuh cinta. Pada kanvas itu. Pada tangan kokoh yang terasa sangat halus ketika menorehkan kuas-kuas mungil yang tak seberapa besar dibandingkan tubuhnya yang tinggi tegap. Pada satu sosok, yang saat ini kupanggil Ari. *** “Jangan panggil Bari. Kayak Bapak-bapak aja, Ari aja. Yang sedang me”NATA-NEGARA”. Hahaha.” Aku selalu ingat dengan leluconnya atas namanya sendiri. Nama yang sudah dititahkan oleh mendiang ayahnya ketika ia baru saja lahir. Ia selalu merasa nama itu terlalu berat untuknya, yang kemudian menjadi alasan mengapa ia ti

another hard decision, a story

"Nah, kalau kamu sendiri seperti apa?" ia mencondongkan badannya ke arahku. "Seperti apa gimana?" kuteguk lagi es jeruk itu yang sebenarnya sudah mau kubuang karena terlalu asam. Aku menhindari tatapannya. Seperti disengat seekor lebah, aku merasa degub jantungku bertambah kencang dua kali lipat. "Iya, kalau kamu seperti orang-orang itu nggak? Yang suka bohongin aku." ia berkedip sambil tersenyum. Bukan senyum yang menyebalkan memang. Oh, aku selalu suka senyumnya. "Nggak kok! Kamu tahu aku seperti apa aku ini .. " "Ya kan?" tanyaku lagi. Pada diriku sendiri tepatnya. Bodohnya aku mengungkit masalah yang ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagiku. Aku tidak tahu bagaimana percakapan ini bisa sampai pada topik ini. Topik yang sama sekali tidak pernah aku inginkan untuk dibicarakan. "Kok kamu malah tanya balik sama aku? Hehehe. Aku tahu kok, kamu nggak gitu. Jujur donk kalo gitu sekarang, sayang." balasnya k

airport

Pernah dengar pepatah yang bilang kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Mungkin, pepatah itu memang ada benarnya walaupun kita nggak pernah bisa mastiin kapan waktunya dan dimana tempatnya. Tapi, buat saya, salah satu tempat yang sepertinya bisa ngebuat saya benar-benar mendapatkan feel'nya untuk bertemu dan berpisah sama orang adalah bandara. Yap! Bandara. Sangat jelas kalau dari tempat itu orang bisa terbang pergi kemana pun dan kembali lagi pakai pesawat terbang. Nggak jarang juga kalau saya lagi nongkrong di bandara, saya sering banget ngeliat orang pada nangis-nangis karena mau pisah sama keluarganya, pacarnya, temennya, atau mungkin cuma kenalannya. Tapi, nggak jarang juga di terminal kedatangan banyak banget raut muka orang-orang yang sumringah karena bertemu orang yang sudah dinanti-nanti. How magical that place is! Nggak hanya observasi langsung, saya inget jaman saya SD dan saya nonton film Indonesia yang waktu itu lagi ngehitz banget, Ada Apa Dengan Cinta (

Radio

So listen to the radio (listen to the radio) And all the songs we used to know, oh, oh So listen to the radio (listen to the radio) Remember where we used to go... One simple word can be define with so many other words. A word itself can express so many other feelings and describe so many other thing that related to it. Untuk saya, sebuah kata "radio" artinya besar banget. Dan hari ini, sengaja saya tulis posting saya tepat tanggal 19 Agustus 2011 diantara pukul 22.00-24.00. Why? Hari ini memang gag bersejarah untuk diri saya, tapi mungkin akan sangat diingat oleh salah seorang penyiar favorit saya yang juga jadi pacar saya. Sebut saja dia 'Gembul'. Gembul adalah orang yang pernah jadi salah satu magnet saya untuk bisa stay di dalam perpustakaan di waktu yang sama setiap harinya dan di tempat yang sama. Dengan laptop terbuka dan koneksi Yahoo Messenger yang selalu on line, saya bercokol di tempat itu semaksimal mungkin selama pukul 11.00-14.00 setiap harinya.

the real life - part 2

"Mencoba Berdamai dengan Keadaan" Kembali lagi membicarakan 30 hari saya bergelut dengan KKN. Buat saya, KKN itu singkatan dari Kuliah Kok Ngrepoti. Bagaimana tidak? Kerjaan selama 2 bulan dengan 30 hari untuk Live In, pengeluaran dadakan untuk menomboki biaya hidup di lokasi atau sekedar menutup kekurangan dana kegiatan, dan harus tinggal berjauhan dengan peradaban yang biasa saya tempati ternyata hanya berbobot 3 SKS. Sama saja saya sedang menempuh mata kuliah yang cukup saya datangi 3 jam dalam seminggu per semesternya. Lalu, apakah hal ini worthed? Kalau saya hanya melihat dari bobot SKS'nya, jelas saya pengen banget mencak-mencak sambil berteriak bahwa semua ini gak fair. Kayaknya kok gak sebanding dengan perjuangan yang saya dapatkan demi mendapatkan nilai sempurna untuk 3 SKS itu. Lalu, saya kemudian melihat, apa gunanya KKN ini untuk profesi saya? Wong ternyata program-program saya gak banyak yang berhubungan dengan jurusan saya. Nah, K.O. sudah. Saya

the real life - part 1

Posting kali ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis. Dari semenjak awal bulan Juli yang lalu. Dengan harapan yang menggebu-gebu saya bertekat menuliskan pengalaman saya tinggal di Dusun lain selama KKN setiap harinya. Tapi, ternyata saya nggak jadi bawa laptop dan modem saya juga nggak berfungsi di tempat itu. Ya sudah, tiba-tiba minat saya kandas di tengah jalan. Lama sekali akhirnya saya berniat untuk membuka web site ini dan mengecek halaman terakhir blog saya yang isinya masih itu-itu saja. Lalu saya iseng saja mengecek blog-blog teman-teman saya yang saya follow, dan ternyata .. saya jadi jealous sama mereka. Mereka sudah melahirkan banyak postingan terbaru dan saya kok malah mandeg. Jadi, dengan tekad sekuat baja dan dengan nyali yang sudah tertantang, saya mulai lagi menulis. yuk ...... Posting saya kali ini dimulai dari sebuah pertanyaan yang dilontarkan pacar saya yang bernama Gembul. Beberapa hari yang lalu, Gembul bertanya pada saya, "Apa 10 hal yang menur

pemandangan secara horizontal

Aku suka pergi berkendara naik mobil. Membuatku dapat melihat pemandangan lain selain dinding kamarku yang sudah mulai jenuh kepelot oti sepanjang hari. Tapi, apa yang kulihat sendiri tidak sama dengan apa yang biasa orang lain lihat. Aku melihatnya secara horizontal. Seluas kaca jendela mo bil ayah. Aku tidak bisa terbangun, penyakit yang aku bawa semenjak lahir ini membuatku mampu untuk menikmati dunia dengan kacamata yang berbeda. Aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur, bahkan untuk duduk sekalipun. Aku tidak pernah mengeluh, hampir tidak pernah mungkin. Mungkin karena aku tidak pernah tahu perasaan yang lain selain terbaring diam dan memandangi kamar mungilku. Aku memang pernah cemburu melihat bunda dan ayah yang seringkali keluar masuk dan menengokku di dalam kamar. Bagaimana mereka bisa berdiri dan melengganggkan kaki keluar masuk kamarku sesuka hati. Tapi, kata mereka aku beruntung, aku spesial, dan karenanya aku tidak pernah mengeluh. Tapi, aku tetap lebih senang berada di lu

menjadi orang bermuka dua atau jadi musuh sejagad raya?

Ini posting saya setelah sekian lama saya nggak ngerasa punya feel untuk nulis. Bener juga kata teman saya, kalo saya lagi senang, saya nggak akan pernah menulis. Kenapa? Jawabannya gampang, karena kalo orang lagi senang, dia nggak perlu mengadu ke siapa-siapa. Tapi, kalo orang galau atau lagi sedih, dia pasti akan nyari temen bicara yang nggak perlu banyak berkomentar. Dan..akhirnya pasti akan terbit sebuah tulisan yang katanya jauh lebih mengena di hati. Saat ini, saya bukan lagi galau. Kalo dibilang sedih juga nggak terlalu, tapi mungkin saya cuma lagi kecewa aja. Tapi, bukan berarti saya juga mengesampingkan hal-hal lain yang ternyata bikin saya luar bisa senang beberapa hari ini. Saya merasa bimbang dengan keputusan yang saya buat. Saya merasa apa yang sudah saya lakukan adalah hal yang paling tepat yang bisa saya lakukan. Untuk menyelamatkan diri saya dari sebuah obsesi yang tinggi dan juga untuk berbicara sejujur mungkin. Sudah lama memang saya menyimpan sebuah kekesalan di hat

Firework . .

You just gotta ignite the light and let it shine Just on the night like the 4th of July 'Cause baby you're a firework Come on show them what you worth Make them go, oh,oh ,oh As you shoot across the sky (Katy Perry - Firework) A few weeks ago, I have just watched one of the Glee's episode. And, on that movie, there's a kissing scene where the guy feels like he's seeing fireworks when he kiss the girl. And so, I was wondering at that moment, did I ever feel any fireworks in my life? Okay, so we're not talking about the 'kissing' part only, but what I'm trying to say is about the sparkles that we've ever feel when we do something that we really-really wanted and we really-really love. So, as I checked through my memories that I still remembered, I've found some of my experiences that makes me feel like a firework! 1. Kiss! Well now just take a look back again for a while. When I was young, stupid, fool, and have a strong curiosity about what a