Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2011

lukisanku di atas kanvasmu

Namanya Bari Natanegara. Seorang laki-laki yang aku kenal tidak sengaja di tempat ini. Cafe langgananku selama aku kuliah di Yogyakarta. Ternyata ia juga merupakan seorang pelanggan tetap cafe itu. Kami hanya tidak pernah bertemu di waktu yang sama, kecuali hari itu. Ketika ia mulai membentangkan kanvasnya dengan lebar dan memasang setting cafe itu sebagai latar dari lukisannya. Termasuk aku, sebagian kecil dari latar itu. Saat itu juga, aku mulai jatuh cinta. Pada kanvas itu. Pada tangan kokoh yang terasa sangat halus ketika menorehkan kuas-kuas mungil yang tak seberapa besar dibandingkan tubuhnya yang tinggi tegap. Pada satu sosok, yang saat ini kupanggil Ari. *** “Jangan panggil Bari. Kayak Bapak-bapak aja, Ari aja. Yang sedang me”NATA-NEGARA”. Hahaha.” Aku selalu ingat dengan leluconnya atas namanya sendiri. Nama yang sudah dititahkan oleh mendiang ayahnya ketika ia baru saja lahir. Ia selalu merasa nama itu terlalu berat untuknya, yang kemudian menjadi alasan mengapa ia ti

another hard decision, a story

"Nah, kalau kamu sendiri seperti apa?" ia mencondongkan badannya ke arahku. "Seperti apa gimana?" kuteguk lagi es jeruk itu yang sebenarnya sudah mau kubuang karena terlalu asam. Aku menhindari tatapannya. Seperti disengat seekor lebah, aku merasa degub jantungku bertambah kencang dua kali lipat. "Iya, kalau kamu seperti orang-orang itu nggak? Yang suka bohongin aku." ia berkedip sambil tersenyum. Bukan senyum yang menyebalkan memang. Oh, aku selalu suka senyumnya. "Nggak kok! Kamu tahu aku seperti apa aku ini .. " "Ya kan?" tanyaku lagi. Pada diriku sendiri tepatnya. Bodohnya aku mengungkit masalah yang ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagiku. Aku tidak tahu bagaimana percakapan ini bisa sampai pada topik ini. Topik yang sama sekali tidak pernah aku inginkan untuk dibicarakan. "Kok kamu malah tanya balik sama aku? Hehehe. Aku tahu kok, kamu nggak gitu. Jujur donk kalo gitu sekarang, sayang." balasnya k

airport

Pernah dengar pepatah yang bilang kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Mungkin, pepatah itu memang ada benarnya walaupun kita nggak pernah bisa mastiin kapan waktunya dan dimana tempatnya. Tapi, buat saya, salah satu tempat yang sepertinya bisa ngebuat saya benar-benar mendapatkan feel'nya untuk bertemu dan berpisah sama orang adalah bandara. Yap! Bandara. Sangat jelas kalau dari tempat itu orang bisa terbang pergi kemana pun dan kembali lagi pakai pesawat terbang. Nggak jarang juga kalau saya lagi nongkrong di bandara, saya sering banget ngeliat orang pada nangis-nangis karena mau pisah sama keluarganya, pacarnya, temennya, atau mungkin cuma kenalannya. Tapi, nggak jarang juga di terminal kedatangan banyak banget raut muka orang-orang yang sumringah karena bertemu orang yang sudah dinanti-nanti. How magical that place is! Nggak hanya observasi langsung, saya inget jaman saya SD dan saya nonton film Indonesia yang waktu itu lagi ngehitz banget, Ada Apa Dengan Cinta (

Radio

So listen to the radio (listen to the radio) And all the songs we used to know, oh, oh So listen to the radio (listen to the radio) Remember where we used to go... One simple word can be define with so many other words. A word itself can express so many other feelings and describe so many other thing that related to it. Untuk saya, sebuah kata "radio" artinya besar banget. Dan hari ini, sengaja saya tulis posting saya tepat tanggal 19 Agustus 2011 diantara pukul 22.00-24.00. Why? Hari ini memang gag bersejarah untuk diri saya, tapi mungkin akan sangat diingat oleh salah seorang penyiar favorit saya yang juga jadi pacar saya. Sebut saja dia 'Gembul'. Gembul adalah orang yang pernah jadi salah satu magnet saya untuk bisa stay di dalam perpustakaan di waktu yang sama setiap harinya dan di tempat yang sama. Dengan laptop terbuka dan koneksi Yahoo Messenger yang selalu on line, saya bercokol di tempat itu semaksimal mungkin selama pukul 11.00-14.00 setiap harinya.

the real life - part 2

"Mencoba Berdamai dengan Keadaan" Kembali lagi membicarakan 30 hari saya bergelut dengan KKN. Buat saya, KKN itu singkatan dari Kuliah Kok Ngrepoti. Bagaimana tidak? Kerjaan selama 2 bulan dengan 30 hari untuk Live In, pengeluaran dadakan untuk menomboki biaya hidup di lokasi atau sekedar menutup kekurangan dana kegiatan, dan harus tinggal berjauhan dengan peradaban yang biasa saya tempati ternyata hanya berbobot 3 SKS. Sama saja saya sedang menempuh mata kuliah yang cukup saya datangi 3 jam dalam seminggu per semesternya. Lalu, apakah hal ini worthed? Kalau saya hanya melihat dari bobot SKS'nya, jelas saya pengen banget mencak-mencak sambil berteriak bahwa semua ini gak fair. Kayaknya kok gak sebanding dengan perjuangan yang saya dapatkan demi mendapatkan nilai sempurna untuk 3 SKS itu. Lalu, saya kemudian melihat, apa gunanya KKN ini untuk profesi saya? Wong ternyata program-program saya gak banyak yang berhubungan dengan jurusan saya. Nah, K.O. sudah. Saya

the real life - part 1

Posting kali ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis. Dari semenjak awal bulan Juli yang lalu. Dengan harapan yang menggebu-gebu saya bertekat menuliskan pengalaman saya tinggal di Dusun lain selama KKN setiap harinya. Tapi, ternyata saya nggak jadi bawa laptop dan modem saya juga nggak berfungsi di tempat itu. Ya sudah, tiba-tiba minat saya kandas di tengah jalan. Lama sekali akhirnya saya berniat untuk membuka web site ini dan mengecek halaman terakhir blog saya yang isinya masih itu-itu saja. Lalu saya iseng saja mengecek blog-blog teman-teman saya yang saya follow, dan ternyata .. saya jadi jealous sama mereka. Mereka sudah melahirkan banyak postingan terbaru dan saya kok malah mandeg. Jadi, dengan tekad sekuat baja dan dengan nyali yang sudah tertantang, saya mulai lagi menulis. yuk ...... Posting saya kali ini dimulai dari sebuah pertanyaan yang dilontarkan pacar saya yang bernama Gembul. Beberapa hari yang lalu, Gembul bertanya pada saya, "Apa 10 hal yang menur