Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2017

The Last One

Ia menegak habis isapan bir itu.  Sudah gelas kedua dan ia belum merasa untuk berhenti. Entah sudah ada minuman apa lagi yang sebelumnya ia teguk.  Tangannya bergerak memanggil pelayan untuk meminta gelas tambahan, tetapi secara halus aku menghalanginya.  "Stop," kataku lirih.  Ia hanya menatap tajam. Belum pernah aku lihat dia semarah itu.  Ia hanya menarik nafas panjang dan tak berkata apa-apa. Sesekali bibirnya bergerak, seperti ingin menggerutu tetapi yang keluar dari bibirnya hanyalah hembusan angin yang panjang.  Aku belum pernah melihatnya menegak alkohol dan tidak kusangka efeknya membuat ia semakin sekaku ini. Ia duduk dengan lebih tegap tetapi dengan wajah yang ia tundukkan. Ia marah .. atau ia ingin marah. Untuk itu, aku masih kurang paham.  "Kenapa?" tanyanya perlahan. Ada keraguan ketika ia membuka suaranya. Suaranya bergetar, entah menahan marah atau ia ragu bahwa itu adalah pertanyaan yang tepat.  Aku menghela napas. Untuk be

... love?

I've found almost everything ever written about love to be true. Shakespeare said "Journeys end in lovers meeting."  What an extraordinary thought.  Personally, I have not experienced anything remotely close to that, but I am more than willing to believe Shakespeare had. I suppose I think about love more than anyone really should. I am constantly amazed by its sheer power to alter and define our lives.  It was Shakespeare who also said "love is blind". Now that is something I know to be true.  For some quite inexplicably, love fades; for others love is simply lost. But then of course love can also be found, even if just for the night.  And then, there's another kind of love: the cruelest kind. The one that almost kills its victims. Its called unrequited love.  Of that I am an expert. (The Holiday)

Menari

"Latihan menari?" aku bertanya seraya membelalakkan mata. "Iya," sahutmu mantap. " Dance . Tapi bukan yang kayak modern dance gitu. Aku mau latihan waltz ." lanjutmu lagi. Dan seperti biasa, ketika kamu mulai bercerita mengenai mimpimu, matamu pasti akan menerawang jauh. Seperti berlari menuju langit khayalanmu. " And why on earth would you do that? " aku bertanya, masih tidak paham dengan ceritamu. " I don't know ," jawabmu seraya mengangkat bahu. Tetapi kamu tersenyum. Ah, senyum itu. Entah sudah berapa kali kamu tersenyum seperti itu. Bukan tersenyum layaknya kamu baru saja menyelesaikan ujian skripsimu atau senyum ketika kamu berhasil mendapat kerja. Senyum itu, hanya terjadi ketika kamu mulai berbicara mengenai mimpi-mimpimu. " Well, kamu tahu lagunya Ed Sheeran yang Thinking Out Loud itu?" ia kembali berbicara. "Kemarin aku lihat music video nya. Somehow  aku kayak langsung klepek-klepe

Berita Kehilangan

Aku adalah orang yang paling menderita di dunia ini. Mencintai kamu yang tidak ada. Merindukan kamu yang tidak kunjung datang. Mencintai sebuah ide . Sebuah bayang akan kamu. Sungguh aku adalah orang yang paling menderita di dunia ini. Karena kita sudah jenuh dengan drama. Dengan pertanyaan, "Mengapa?"  Mencintai kamu, bak mencintai udara. Yang lekat. Dekat. Tapi tidak dapat didekap. Maka, aku lepaskan kamu. Merelakan kepergianmu, yang belum pernah singgah. Mengusir kamu. Kehilangan kamu. Karena malam ini, kita sudah jengah untuk bertahan.  Sudah lelah berpegangan.  Selayaknya daun yang akan jatuh dari dahannya. Pada akhirnya, kamu pun akan gugur.  Maka, aku tuliskan berita kehilangan. Walau hanya aku yang tahu.  Tentang kamu, yang tidak ada. 

Mencari Kupu-kupu

"Ternyata selama ini aku salah." "Salah gimana?" tanyanya sambil masih sibuk mengutak ngatik pekerjaan di depannya. Sudah dingin kopi hitam yang sudah ia pesan satu jam sebelumnya. "Dengerin dulu." aku merajuk. " Wait ." jawabnya singkat. Masih sibuk memainkan jemarinya diatas tombol keyboard tersebut. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya ia menutup laptopnya. " Yes, I am all ears ." dan ia mulai mengambil cangkir kopi yang sudah mulai dingin. "Iya," aku mulai kembali bersuara. "Ternyata selama ini aku salah." Aku menghela napas panjang. Mungkin ia sudah hafal, Ritualku ketika aku mulai berbicara panjang. Maka ia mulai membenarkan posisi duduknya, mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Ingat buku yang waktu itu kita bahas? Yang aku bilang bahwa itu nggak realistis." " Yes, what about that? " "Dan ..... kamu bilang apa?" aku menatapnya tajam. Mene

Jumat

Bekerja selalu menjadi sebuah pelarian. Itulah mengapa laptop ini selalu menyala ketika aku ada disini.  Mungkin banyak orang bertanya-tanya, mengenai seorang perempuan yang selalu datang, pada sebuah hari yang sama, dengan lokasi duduk yang sama. Bahkan, pegawai tempat tersebut juga sudah membiasakan diri untuk membiarkan tempat itu menjadi kosong. Untukku dan teman terbaikku, laptop.  Maka, di hari Jumat ini, aku kembali datang. Duduk di tempat yang sama. Memesan minuman yang sama. Sebuah ritual yang bahkan dapat diingat oleh anak 5 tahun.  Semua orang bertanya, untuk apa aku membuka laptopku dan kembali bekerja di tempat itu. Dengan pencahayaan yang minim dan beberapa lampu kuning di sana sini. Cukup menyakitkan dan menyiksa mata. Terutama jika ditambah dengan pijaran cahaya laptop ini yang kurang bersahabat.  Tetapi bekerja adalah pelarianku. Tempat aku berlari, jika tiba-tiba mata itu menatap ke arah sini.  Maka, meja ini adalah lokasi paling strategis. Bagiku

Iris

Namanya Iris .  Pelangi.  Bisa bayangkan betapa indahnya dia? Setelah terhapus semua peluh dan keringat oleh derasnya hujan, akhirnya cakrawala kembali tersenyum. Membawa dia. Pelangi - Iris . Dunia mungkin berhenti berputar ketika dia tersenyum.  Ingin menikmati setiap jengkal dari bibirnya yang tersungging. Menikmati gelagat lugunya .. oh Tuhan, aduhai sungguh indah.  Bahkan mungkin mentari pun enggan untuk bersinar ketika ia tertawa. Toh, untuk apa? Ia bercahaya jauh lebih dalam.  Namanya  Iris .  Memandangnya saja, membuat hati ini hangat.  Apalagi yang bisa aku pinta? Namanya Iris . Bak pelangi yang hanya datang ketika hujan sudah reda,  maka dengan segera ia juga dapat pergi.  Maka aku 'kan jadi manusia paling nestapa. Melihatnya datang dan melihatnya pergi.  Menunggu hingga Tuhan berbaik hati, menurunkan hujan dan mendatangkanku pelangi.