Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2011

sebelum mimpi itu indah

Pagi ini, matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinarnya. Sungguh, aku masih ingin sedikit menikmati nikmatnya kasur ini. Tapi, sepertinya orang-orang di luar sana sudah sangat bersemangat untuk menyambut hari yang ditunggu-tunggu ini. "Nak, udah bangun kan? Sholat dulu ya. Abis itu langsung mandi." teriak salah satu suara di luar sana. "Ehm ... eh?" aku yang masih terkejut diantara ambang kesadaranku mulai mengerjap-ngerjapkan mata. Yah, sudah saatnya untuk bangun sepertinya. "Udah bangun belom sih?" tiba-tiba kepala mungil muncul dari balik pintu kamarku. "Udah dek, sana pergi." dengan sebal aku menjawab pertanyaan itu. Sungguh menyebalkan. Bertahun-tahun hidup bersama mereka, apa masih belum hafal ya kalau aku itu benci banget diteriakin kalo pagi-pagi begini? Aku segera bangkit dari nyamannya tempat tidurku. Mengambil air wudhu dan mulai menunaikan kewajibanku pada Sang Pencipta. Rasanya aneh. Aku seperti sedang

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A

ke-naif-an

"Untuk seseorang yang punya pengalaman cinta segudang kayak loe, ternyata loe tuh naif banget ya!" Kata-kata itu terasa menujam langsung dalam benakku. Ada perasaan tidak terima. Ada rasa tidak ingin mengakui bahwa semua ini memang benar. "Naif .. Naif ..." Sebuah kata yang aku coba ulang berkali-kali di dalam otakku yang di saat itu juga sedang berusaha untuk menentang sebuah kesetujuan. Apa iya aku ini begitu polos, lugu, kekanak-kanakan, naif .... ? Di ruangan ini, buku-buku yang seakan-akan turut berbicara padaku, menghakimiku, seakan-akan membuat tempat ini terasa begitu sempit. Aku tidak bisa bernafas. Aku tidak mau mengakuinya. Aku mau lari ...... lagi. Aku mau lari dari kenyataan bahwa semua ini bukanlah salahku. Bahwa semua ini adalah salah seseorang yang menempatkan aku di jurang paling dalam. Seseorang yang tanpa tahu diri membuatku bersimpuh darah dan lumpuh. Dan, dari semua dosa yang ia berikan padaku, apakah semua ini harus aku akui sebagai sebuah kesa