Ia menegak habis isapan bir itu.
Sudah gelas kedua dan ia belum merasa untuk berhenti. Entah sudah ada minuman apa lagi yang sebelumnya ia teguk.
Tangannya bergerak memanggil pelayan untuk meminta gelas tambahan, tetapi secara halus aku menghalanginya.
Sudah gelas kedua dan ia belum merasa untuk berhenti. Entah sudah ada minuman apa lagi yang sebelumnya ia teguk.
Tangannya bergerak memanggil pelayan untuk meminta gelas tambahan, tetapi secara halus aku menghalanginya.
"Stop," kataku lirih.
Ia hanya menatap tajam. Belum pernah aku lihat dia semarah itu.
Ia hanya menarik nafas panjang dan tak berkata apa-apa. Sesekali bibirnya bergerak, seperti ingin menggerutu tetapi yang keluar dari bibirnya hanyalah hembusan angin yang panjang.
Ia hanya menarik nafas panjang dan tak berkata apa-apa. Sesekali bibirnya bergerak, seperti ingin menggerutu tetapi yang keluar dari bibirnya hanyalah hembusan angin yang panjang.
Aku belum pernah melihatnya menegak alkohol dan tidak kusangka efeknya membuat ia semakin sekaku ini. Ia duduk dengan lebih tegap tetapi dengan wajah yang ia tundukkan. Ia marah .. atau ia ingin marah. Untuk itu, aku masih kurang paham.
"Kenapa?" tanyanya perlahan. Ada keraguan ketika ia membuka suaranya. Suaranya bergetar, entah menahan marah atau ia ragu bahwa itu adalah pertanyaan yang tepat.
Aku menghela napas. Untuk beberapa detik aku melihat wajahmu memandangiku dengan tegang.
Aku selalu percaya bahwa jika kamu tidak ingin mengetahui jawabannya, jangan tanyakan pertanyaannya. Dan .. untuk kali ini, aku yakin ia tidak ingin tahu.
Lidah ini terasa kelu ketika aku berusaha menjawab. Mungkin karena aku belum merangkai kalimat yang tepat atas pertanyaan ini. Atau, mungkin karena aku juga masih belum tahu apa jawabannya.
Aku hanya tahu, bahwa aku ingin berhenti. Bahwa malam-malam yang sudah dilalui kemarin, bukanlah yang seharusnya. Bahwa aku tidak sanggup untuk tercabik setiap malam untuk berpisah dengannya dan betapa pengecutnya aku untuk lebih memilih untuk pergi ... dibandingkan menunggu.
Karena kita sudah tidak sanggup lagi untuk bersembunyi. Bermain dengan asap yang seharusnya tidak pernah kita buat. Untuk mengenyahkan kata cinta .. Akh cinta .. Aku bahkan tidak yakin ia mencintaiku. Mungkin itu semua hanya di kepalaku.
Tapi, hari ini ia begitu marah.
"Aku nggak mau," sahutnya lagi. Lalu ia berbalik ke arahku. Menatap wajahku dalam. Aku tidak bisa mengelak lagi untuk tidak tenggelam dalam lautan matanya. Untuk tidak merasa luluh dengan wajahnya. Untuk tidak merasa beku dan kelu di hadapannya.
It's not about what you want. It is what you're suppose to do to make this right.
Aku menggeruti dalam hati. Akh .. mengapa tidak bisa aku keluarkan semua dihadapannya. Selalu saja di depannya, aku bagaikan batu. Di hadapannya, semua kekuatanku seperti runtuh .. gugur.
Ia bagaikan gravitasi yang senantiasa menarikku ke bawah, mengenyahkan pikiranku yang merasa bahwa aku bisa terbang. Ia adalah gravitasi, yang menahanku untuk bisa berkelana. Yang selalu berada disepanjang hariku .. menahanku untuk tidak beranjak.
Dan untuk sepersekian waktu, ingin rasanya aku tidak bernapas. Karena bernapas hanya akan semakin menyesakkan paru-paruku.
Lalu, hanya dengan sebuah tarikan, ia menarik wajahku dan membenamkannya di tubuhnya. Bibirnya menyapu bibirku. Aneh, ada bau alkohol yang aku benci. Tetapi, bibirnya begitu lembut.
Aku ingin dia melepaskanku .. namun bahkan, dengan kesadaranku, aku enggan mendorongnya menjauh.
Aku ingin dia melepaskanku .. namun bahkan, dengan kesadaranku, aku enggan mendorongnya menjauh.
Pelukannya merenggang .. dengan sebuah sentuhan lembut, ia membelai rambutku, "I will see you here, tomorrow. Yes?"
Lalu ia bangkit, berbalik dan berjalan pergi.
Tubuhnya masih tegap dan aku tahu ia mengepalkan tangannya. Menahannya untuk bergetar.
.. dan kususul ia untuk keluar dari tempat ini. Melihat punggungnya yang mulai menjauh. "Esok tidak akan ada, sayang." dan kulambaikan tanganku ke arah punggungnya yang menjauh.
Comments
Post a Comment