Skip to main content

Mencari Kupu-kupu

"Ternyata selama ini aku salah."

"Salah gimana?" tanyanya sambil masih sibuk mengutak ngatik pekerjaan di depannya.

Sudah dingin kopi hitam yang sudah ia pesan satu jam sebelumnya.

"Dengerin dulu." aku merajuk.
"Wait." jawabnya singkat. Masih sibuk memainkan jemarinya diatas tombol keyboard tersebut.

Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya ia menutup laptopnya.
"Yes, I am all ears." dan ia mulai mengambil cangkir kopi yang sudah mulai dingin.

"Iya," aku mulai kembali bersuara.
"Ternyata selama ini aku salah."

Aku menghela napas panjang. Mungkin ia sudah hafal, Ritualku ketika aku mulai berbicara panjang. Maka ia mulai membenarkan posisi duduknya, mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Ingat buku yang waktu itu kita bahas? Yang aku bilang bahwa itu nggak realistis."

"Yes, what about that?"

"Dan ..... kamu bilang apa?" aku menatapnya tajam. Menebak-nebak apakah memorinya masih setajam dulu.

"Aku bilang, bahwa kamu, adalah seorang perempuan yang mencari sebuah rasa aman. Mencari sebuah kapal pesiar di tengah lautan tenang, dan bukan mengikuti jeram dengan kayak di sungai kecil yang tidak jelas akan berujung kemana."

Ia menyeruput kembali kopi hitamnya, "dan .. kamu juga bilang bahwa naik arung jerang itu nggak bisa pergi jauh-jauh, soalnya capek!" lanjutnya.

"Yes, that is! I have been longing for a steady stream while now ... I realize that I have been craving for an adrenaline rush,"aku mulai menjawabnya dengan bersemangat.

"Kamu tahu rasanya berjalan di jalan tol yang panjang banget dan rasanya bosen karena nggak ada macet-macetnya?" aku bertanya kembali.

"Nope. Jakarta selalu macet. Kapan sih bisa menikmati jalan tol yang nggak macet? Besides, jalanan di Jakarta juga nggak panjang-panjang amat."

Ugh! "Ya ini kan perandaian aja. Fokus donk, aku kan lagi cerita." aku mulai sebal.

"Well, thought you were asking me, kan?"

"Whatever! Anyway, lanjut ya! Jadi, kalau misalkan kita berjalan di jalan tol yang luar biasa panjang yang benar-benar tanpa hambatan, lama-lama kita jadi ngantuk. And that is how I felt now."

"Aku jadi gagal paham. Kita lagi ngebicarain apa jadinya?" ia mulai mengeluh.

"Tentang aku. Tentang yang aku mau, dan sekarang sudah berubah"

"I don't believe in fairy tales anymore, there is no such thing as a happily ever after." lanjutku kembali.

"So, what do happen when the prince get to kiss the princess."

"Life happens! Unexpected things. Cause when the prince get to kiss the princess, the butterflies goes. The drama disappear. Then, suddenly life become so bored."

Mukanya terlihat berkerut. Sebuah tanda bahwa ia sudah tidak tahu harus merespon apa.

"Sebentar.", katanya kemudian. "Jadi, kamu tidak lagi mencari orang yang 'aman'?"
"Nggak. I will find my butterflies." sahutku mantap.
"I want someone that I inspire me to write songs, to appear in my head when I wake up in the morning. To be curious of the clothes that he might be wearing that day. To make me refresh my inbox every five minutes."

Lalu aku kembali menegak minumamku yang sudah mulai tidak berasa. Dan, ia hanya mengangguk dan kembali membuka laptopnya.

"Welcome to my world!"sahutnya sambil tersenyum.

"Apa maksudnya?" mataku mulai memicing. "Jangan dijawab dulu," aku menyela sembari memesan kembali minuman yang sama. 

Ia berbalik mentapku. Diam. Lalu menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, bahwa hidup adalah sebuah, hhmm.. adventure!"

"Iya. Aku tahu! I mean, akhirnya sekarang aku mulai tahu. Aku sudah capek berencana. Aku mau jadi rumput liar. Mau jadi bunga di tepi jalan,"

"Just like that Sheila on 7 song ya?" celetuknya sambil tertawa. 

"You're not listening!" aku mulai merajuk kembali. Entah bersamanya terasa mudah untuk bisa menjadi diriku sendiri. 


"Aku sudah nggak mau jadi pengatur lagi," sahutku mantap. "I want to enjoy the wave, the stream, or whatever." 

"Jadi, sudah lelah untuk jadi tukang suruh-suruh?" ia kembali menggodaku.

"Bukan! Aku sudah lelah untuk berencana dan hasilnya nihil. Hampa. Kosoooooong." 

"So, if now I asked you to jump from a hill, would you do that?" ia bertanya. Raut mukanya serius. 

"Then, if I die?

"No you won't. Someone will definitely catch you." sahutnya sambil menyentil ujung hidungku. 

"Yeah. And I am going to find that person from now on!" sahutku sambil menyerutup minuman yang baru saja datang.

Untuk sepersekian detik, kulihat bibirnya meringis. Dan, seekor kupu-kupu terbang di belakangnya.

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...