"Nah, kalau kamu sendiri seperti apa?" ia mencondongkan badannya ke arahku.
"Seperti apa gimana?" kuteguk lagi es jeruk itu yang sebenarnya sudah mau kubuang karena terlalu asam.
Aku menhindari tatapannya. Seperti disengat seekor lebah, aku merasa degub jantungku bertambah kencang dua kali lipat.
"Iya, kalau kamu seperti orang-orang itu nggak? Yang suka bohongin aku." ia berkedip sambil tersenyum. Bukan senyum yang menyebalkan memang. Oh, aku selalu suka senyumnya.
"Nggak kok! Kamu tahu aku seperti apa aku ini .. "
"Ya kan?" tanyaku lagi. Pada diriku sendiri tepatnya.
Bodohnya aku mengungkit masalah yang ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagiku. Aku tidak tahu bagaimana percakapan ini bisa sampai pada topik ini. Topik yang sama sekali tidak pernah aku inginkan untuk dibicarakan.
"Kok kamu malah tanya balik sama aku? Hehehe. Aku tahu kok, kamu nggak gitu. Jujur donk kalo gitu sekarang, sayang." balasnya kemudian. Ia mulai menggenggam tanganku.
"Kamu tahu?" tanyaku lagi. Belagak polos. Bukan, memang aku berpura-pura untuk menjadi orang yang tidak bersalah disini.
Hatiku berontak. Kepalaku panas. Sudah tidak mungkin lagi mengakui kalau aku adalah orang yang suci. Tapi, darimana aku harus memulainya?
Hening. Lama sunyi itu datang diantara aku dan dia yang hanya terpaku pada sisa makanan masing-masing. Tidak terlalu enak sebenarnya, tapi toh itu lebih baik dibandingkan aku harus terus berbicara.
"Sebenernya .." aku mulai angkat suara.
"Kamu nggak tahu apa yang aku rasain. Aku sendiri bingung." aku mencoba mencari suaraku yang hilang.
Ia mendekatkan tubuhnya. Merapat di sebelah tubuhku yang menegang.
"Try me." lanjutnya.
"Aku cuma mau .. dia merasa apa yang aku rasain. It hasn't fully heal." aku menunduk. Tak berani melihat wajahnya yang menegang.
"But it has been 2 years, dear."
Untuk kamu, semua ini memang baru berjalan dua tahun, tapi untukku, ini sudah tiga setengah tahun dan sudah seharusnya semua ini berlalu. Aku ingin ini berlalu. Andai kamu mengerti.
"I know, I wish I could. Kamu nggak ngerti .."
"Aku mengerti." matanya memerah saat ia mengucapkannya. Ia mencengkram tangganku dan dengan perlahan melepaskannya.
"Aku mengerti. I've been there. I know how you feel. But, he was gone for that long. And you can't make him feel the way that you want him to feel." sahutnya lagi dengan tegas.
Ia mulai bangkit dari duduknya. Aku menarik lengannya dan memaksanya untuk duduk. Di hadapan makanan-makanan buruk ini, aku mulai menitikkan air mata.
"Jangan bilang aku tidak berusaha. Aku berusaha. Aku nggak pernah sekalipun mau merasakan apa yang aku rasain ini. Please understand." berulang kali aku mencoba untuk menahan tangis ini untuk terpecah, tapi aku tidak sanggup juga.
"Aku tahu. You have tried. Then, try harder. I don't want lies." sahutnya sambil tersenyum.
God, bagaimana mungkin di saat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Senyum yang membuat aku bangkit dari jurang yang selama ini menahanku untuk berdiri. Andai dia tahu, kalau dia lebih dari itu. Bukan. Ia tahu bahwa ia lebih dari itu, aku yang tidak.
"Kiara, he's dead. Dead people won't feel a thing. If you still wanna burry yourself to that story, then I'll go." ia beranjak pergi dan meninggalkan aku sendiri dengan sebuah adonan kebingungan yang besar.
Aku ingin bangkit dan mengejarnya, mengatakan bahwa aku hanya ingin memiliki dia. Tapi, masih ada rasa yang harus dibayar.
Aku hanya duduk diam memandangi sisa makanan yang bertebaran di atas meja. Makanan itu tidak enak, mengapa tidak daritadi aku tinggalkan saja?
Comments
Post a Comment