Skip to main content

another hard decision, a story

"Nah, kalau kamu sendiri seperti apa?" ia mencondongkan badannya ke arahku.

"Seperti apa gimana?" kuteguk lagi es jeruk itu yang sebenarnya sudah mau kubuang karena terlalu asam.

Aku menhindari tatapannya. Seperti disengat seekor lebah, aku merasa degub jantungku bertambah kencang dua kali lipat.

"Iya, kalau kamu seperti orang-orang itu nggak? Yang suka bohongin aku." ia berkedip sambil tersenyum. Bukan senyum yang menyebalkan memang. Oh, aku selalu suka senyumnya.

"Nggak kok! Kamu tahu aku seperti apa aku ini .. "

"Ya kan?" tanyaku lagi. Pada diriku sendiri tepatnya.

Bodohnya aku mengungkit masalah yang ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagiku. Aku tidak tahu bagaimana percakapan ini bisa sampai pada topik ini. Topik yang sama sekali tidak pernah aku inginkan untuk dibicarakan.

"Kok kamu malah tanya balik sama aku? Hehehe. Aku tahu kok, kamu nggak gitu. Jujur donk kalo gitu sekarang, sayang." balasnya kemudian. Ia mulai menggenggam tanganku.

"Kamu tahu?" tanyaku lagi. Belagak polos. Bukan, memang aku berpura-pura untuk menjadi orang yang tidak bersalah disini.

Hatiku berontak. Kepalaku panas. Sudah tidak mungkin lagi mengakui kalau aku adalah orang yang suci. Tapi, darimana aku harus memulainya?

Hening. Lama sunyi itu datang diantara aku dan dia yang hanya terpaku pada sisa makanan masing-masing. Tidak terlalu enak sebenarnya, tapi toh itu lebih baik dibandingkan aku harus terus berbicara.

"Sebenernya .." aku mulai angkat suara.

"Kamu nggak tahu apa yang aku rasain. Aku sendiri bingung." aku mencoba mencari suaraku yang hilang.

Ia mendekatkan tubuhnya. Merapat di sebelah tubuhku yang menegang.

"Try me." lanjutnya.

"Aku cuma mau .. dia merasa apa yang aku rasain. It hasn't fully heal." aku menunduk. Tak berani melihat wajahnya yang menegang.

"But it has been 2 years, dear."

Untuk kamu, semua ini memang baru berjalan dua tahun, tapi untukku, ini sudah tiga setengah tahun dan sudah seharusnya semua ini berlalu. Aku ingin ini berlalu. Andai kamu mengerti.

"I know, I wish I could. Kamu nggak ngerti .."

"Aku mengerti." matanya memerah saat ia mengucapkannya. Ia mencengkram tangganku dan dengan perlahan melepaskannya.

"Aku mengerti. I've been there. I know how you feel. But, he was gone for that long. And you can't make him feel the way that you want him to feel." sahutnya lagi dengan tegas.

Ia mulai bangkit dari duduknya. Aku menarik lengannya dan memaksanya untuk duduk. Di hadapan makanan-makanan buruk ini, aku mulai menitikkan air mata.

"Jangan bilang aku tidak berusaha. Aku berusaha. Aku nggak pernah sekalipun mau merasakan apa yang aku rasain ini. Please understand." berulang kali aku mencoba untuk menahan tangis ini untuk terpecah, tapi aku tidak sanggup juga.

"Aku tahu. You have tried. Then, try harder. I don't want lies." sahutnya sambil tersenyum.

God, bagaimana mungkin di saat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Senyum yang membuat aku bangkit dari jurang yang selama ini menahanku untuk berdiri. Andai dia tahu, kalau dia lebih dari itu. Bukan. Ia tahu bahwa ia lebih dari itu, aku yang tidak.

"Kiara, he's dead. Dead people won't feel a thing. If you still wanna burry yourself to that story, then I'll go." ia beranjak pergi dan meninggalkan aku sendiri dengan sebuah adonan kebingungan yang besar.

Aku ingin bangkit dan mengejarnya, mengatakan bahwa aku hanya ingin memiliki dia. Tapi, masih ada rasa yang harus dibayar.

Aku hanya duduk diam memandangi sisa makanan yang bertebaran di atas meja. Makanan itu tidak enak, mengapa tidak daritadi aku tinggalkan saja?

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...