Skip to main content

lagu - galau - irasional ?




Video klip di atas baru aja saya download. Lagu ini aja sebenarnya baru saya dengar beberapa jam yang lalu waktu saya lagi berkendara pulang dari Ibukota menuju ke kota hujan ini.

Mungkin, kalau sebelumnya tidak ada orang yang pernah menyinggung akan lagu ini, saya juga pasti tidak akan begitu penasaran dengan lagu ini. Tapi, satu hal yang membuat saya menjadi cukup penasaran dan terhubung dengan lagu ini adalah karena kemarin pacar saya baru nyinggung-nyinggung lagu ini.

Well, a lil spoiler, kemarin saya baru aja ngerjain dia dengan menghindari semua kontak komunikasi dengan dia. Padahal kita lagi ngejalanin PJJ. Wajar, kalau akhirnya dia jadi kebingungan nyariin saya. Apalagi SMS terakhir yang saya kirim ke dia lumayan bisa ngebuat orang jantungan. And, saya nggak tahu gimana, tiba-tiba dia jadi galau sambil ngedengerin lagu ini. Hehehe.

So, saya menelaah satu lagu Vierra yang satu ini. Sama seperti beberapa lagu milik mereka yang lain, nada-nadanya cuup familiar dan gampang diinget (tapi, entah kenapa kalau buat saya kesannya semua lagu mereka jadi terdengar mirip). Dan, satu nilai plus untuk beberapa lagu Vierra adalah lirik mereka yang cukup sederhana dan cukup menggambarkan serpihan kecil dari suasana hidup remaja saat ini.

Lalu, tiba-tiba saya jadi mencoba menerka-nerka apa sih isi dari lirik lagu yang satu ini. Bagian lagu yang paling menonjol di telinga saya adalah bagian liriknya. So simple, but straight forward.

Aku takut kamu pergi
Kamu hilang
Kamu sakit
Aku mau kau disini
Di sampingku
Selamanya


Yang menarik dari sepenggal lirik tersebut adalah betapa sering remaja-remaja yang saya temui saat ini merasakan hal yang sama terhadap pacarnya masing-masing. Nggak ada kabar selama 1 jam saja, kayaknya mau kiamat. Tiap menit selalu nanya, "ada dimana? sama siapa? ngapain?" dan lain-lainnya.

Cukup menarik untuk mengetahui betapa banyak orang begitu mengalami ketergantungan terhadap pasangan masing-masing. Dan kemudian, timbullah pikiran-pikiran irasional di kepala mereka yang akhirnya meledak bersama emosi mereka yang cukup membingungkan. Sehingga tentunya nggak jarang kalau pertengkaran ketika pacaran hanya disebabkan oleh waktu pembalasan SMS yang cukup lama, telepon yang diangkat, atau mungkin handphone yang dimatikan.

Saya nggak bilang ini terjadi di semua remaja, tapi, banyak remaja yang saya kenal mengalami hal seperti ini. Saya sendiri, jujur, terkadang merasa seperti itu. Hingga akhirnya saya mulai mencapai sebuah titik dimana saya merasa kalau hal-hal itu sangat tidak rasional dan menyulitkan diri saya sendiri.

So, yang menjadi perhatian saya adalah apakah saat ini semua orang memang memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan pasangannnya masing-masing. Entah via handphone pribadi, jejaring sosial, sampai ketemuan secara langsung. Atau, itu hanyalah sebuah produk dari sistem yang berkembang saat ini. Ketika teknologi semakin merajai dan komunikasi menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan sehingga sudah seharusnya setiap pasangan menjadi semakin kelihatan 'lengket' disana-sini.

Tapi, seingat saya, waktu dulu kakek nenek saya dan orang tua saya masih pacaran, telepon saja masih sulit sekali digunakan. Mungkin bahkan banyak yang menggunakan surat untuk berkomunikasi yang tentunya hanya bisa dilakukan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Dan, hasilnya? Mereka bisa menjadikan hubungan mereka awet dan romantis banget.

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...