Skip to main content

Suara yang berpendar

Ponsel itu terus berpendar. Sudah ketiga kalinya malam ini. Aku melirik sejenak, mengintip siapa penelpon yang sedari tadi membuat ponsel itu bergetar. Masih dengan nomor yang sama. Walaupun nomor itu tidak lagi tersimpan, tetapi aku masih dengan mudah mengenali siapa pemilik nomor telepon tersebut. 

Aku menahan nafas panjang dan mulai mengarahkan tanganku untuk mengambil ponsel yang sedari tadi berpendar dari atas meja kerjaku. Hening. Pendaran di ponsel itu mati. Ia sudah berhenti menelpon, dan aku sedikit menghela nafas lega. 

Tak berselang lebih dari satu menit, ponsel itu kembali bergetar. Masih dengan nomor yang sama. Segera kuraih ponsel dari atas meja tersebut dan kujawab panggilan yang sudah tiga kali tidak kuangkat. 

"Halo .." sapa suara di ujung sana. Masih dengan jelas kuingat sosok pemilik suara mungil itu. Semua tentangnya. Bagaimana ia akan memegang ponsel di samping telinganya dan menyapa orang yang sedang ia telepon. 

"Yes, Mia." aku hanya menjawab dengan nada datar. Aku tidak ingin memberikan impresi apapun kepadanya. Entah itu adalah keengganan untuk menjawab panggilannya sedari tadi atau sepercik kebahagiaan yang tadi sempat muncul saat mendengar suaranya. 

Ada jeda panjang antara ucapanku dengan ucapannya kemudian. Sebuah keheningan yang sebenarnya cukup menyiksa, walaupun mungkin hanya berselang selama 5 detik saja. 

"Mas .. aku kangen." ia mulai kembali berbicara. 

Aku merasa perutku ditinju berkali-kali mendengarnya berkata demikian. Aku menarik kursi yang ada disamping tubuhku yang sedari tadi sedang berdiri dan menghempaskan badanku ke dalamnya. Lututku merasa linu .. lemas untuk menopang tubuhku. 

"Aku tahu aku seharusnya nggak ganggu kamu. I'm sorry." kembali ia berkata-kata. Sungguh aku sangat paham nada bicara itu. Bagaimana raut wajahnya yang memerah dan matanya yang sudah berkaca-kaca ketika ia tahu bahwa aku tidak suka dengan apa yang ia katakan. Perasaan bersalah yang tersirat dari setiap kata-kata terakhirnya. 

Dan, aku hanya bisa diam. 

"Selamat malam, Mas." ia berusaha untuk mengakhiri pembicaraan singkat di telepon itu.

"Jangan," sanggahku dengan segera. Aku benci mengakui betapa senangnya aku mendengar suaranya, mengetahui bahwa ia merindukanku, dan betapa sakit rasanya untuk mengetahui bahwa rasa itu masih ada padaku untuk dirinya. 

"Iya?" ia menjawab. Aku tahu ia berharap aku akan banyak berkata-kata dan seperti biasa, aku hanya bisa berdiam panjang. Ia menunggu tanpa bersuara. 

"Nggak apa-apa. Kamu boleh telepon aku," akhirnya aku membuka suara. ".. jangan salahkan rindu jika memang karena itu kamu menelpon. Aku juga rindu." kataku kembali. 

Aku dengar ia menghela nafas. Legakah ia ... atau jangan-jangan perkataanku malah menambah bebannya? 

"Aku punya kebiasan baru sekarang." sahutnya kembali. 

"Apa itu?" 

"Memandang kamu," ia menjawab dan diikuti oleh tawa kecilnya. Aku sedikit terhanyut, membayangkan bagaimana gigi kecilnya yang berderet dengan rapi akan terlihat ketika ia tertawa. Matanya yang sedikit memcing dan mukanya yang akan memerah. 

"Kok diam?" suaranya membuyarkan lamunanku. 

"Eenng .. enggak. Aku cuma bingung gimana caranya kamu memandangku? Sudah hampir sebulan kita nggak ketemu kan?" aku bertanya. 

"Well ... bukan memandang kamu secara langsung. Lebih tepatnya, memandang wajah kamu yang terpampang di profile picture kamu kalau kamu lagi online."

"Kamu punya konsep yang unik dengan kata memandang ya." kataku sambil terkekeh. 

"Yah ... we should embrace what we have, bukankah begitu Nimas? Dan, aku hanya punya namamu yang muncul dalam kolom chat saja." 

Deg. Aku tidak pernah tahu betapa menyakitkannya ketika kamu menggunakan kata-kataku untuk membalas ucapanku. 

"Aku tidak suka seperti ini," kamu kembali berkata. Suaramu mulai merajuk, seperti ketika kamu dulu memintaku untuk tetap tinggal disana. Bayangan tanganmu yang memegangku erat seakan terasa sangat nyata saat ini. 

"You are not the only one," balasku. 

Lama aku dan dirinya terdiam. Aku tahu bahwa baik aku dan dirinya sama-sama sedang menimbang kata-kata apa yang harus diucapkan selanjutnya. Kata apa yang lebih tidak menyakitkan dari sebuah kenyataan yang tidak berpihak. 

"I have to go, Mia." kataku memecah keheningan. Aku sudah tidak bisa kembali berlama-lama bertahan dengannya di saluran telepon ini. Mendengar suaranya semenit lebih lama lagi akan pasti membuatku pulang ke Jakarta, berlari ke arah rumahnya dan menculiknya hanya untuk diriku. 

"Stay," jawabnya lirih. 

"Kamu tahu aku tidak bisa," aku menghela nafas. "I have to go, suamiku sudah menunggu. Sampai jumpa, Mia." 

Dan kututup sambungan telepon itu. Berusaha untuk tidak lagi menangis malam ini. Aku berjalan menuju jendela kantorku. Aku sudah berbohong, aku berpikir dalam hati. Aku masih ada di kantor dan ini sudah hampir dini hari. Aku hanya terpaku memandang langit Adelaide yang mulai merona merah tanda matahari akan segera terbit.

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...