Skip to main content

Menanti malam

"Here you are!" 

Aku menengadah menatap sang pemilik suara. Suaranya selalu terdengar hangat dan sangat merindukan, terutama di senja hari yang cukup berangin ini. Aku memperhatikan wajahnya yang basah penuh keringat dan pakaiannya yang sudah lusuh. Terlihat nafasnya yang menderu di balik dadanya yang naik turun.

"Sudah berapa putaran memangnya?" aku bertanya sembari membereskan alat-alat lukisku yang berserakan di sekitarku. 

"Sini duduk dulu," aku menepuk-nepuk ke tempat duduk di sebelahku. Sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini untuk berada di tempat ini sepanjang sore. Tempat duduk yang menghadap ke arah sebuah lapangan besar di kampus tempat aku menghabiskan hari-hariku dalam lima tahun terakhir. Dari tempat ini, aku bisa dengan leluasa memandangi dunia kecil yang ada dalam keseharianku dan menatap sang surya yang beranjak pergi untuk berganti malam. 

"Tadi masak kita disuruh keliling lapangan 10 kali cuma gara-gara Jose telat 10 menit. Come one! Mulai aneh deh pelatih yang baru ini." katanya sambil duduk di sampingku.

"Bukankah kita biasanya juga lari 5 kilometer setiap minggu ya?" aku meraih botol minum yang ada di dalam tas ranselku, "Nih minum dulu,"

"Ya kalo sama kamu itu jogging, abis lari terus kita makan bakso. Lhaa .. ini habis lari masih harus latihan sampai 2 jam." ia menegak habis isi botol mimumku dan menyenderkan punggungnya ke tembok di belakangnya. 

"Kamu suka kesini ya akhir-akhir ini," kembali ia membuka suaranya. Aku yang masih melamun belum dapat menangkap apakah itu sebuah pertanyaan atas perubahan rutinitasku di akhir-akhir ini atau hanya sebuah kalimat komentar. 

Aku hanya menarik nafas panjang dan terdiam lama, menikmata kilatan matahari yang aku tahu sebentar lagi akan menghilang. Rasanya ada keengganan untuk melihat matahari itu pergi. Sinarnya seperti sahabat yang senantiasa untuk membuatku hangat, sedangkan malam selalu terasa asing dan dingin. 

"Kamu takut?" ia bertanya sambil ikut menatap langit yang semakin menjingga. 

Aku mengangguk. Meremas buku gambarku yang sudah kututup. 

"Kamu menggambar apa hari ini?" ia meraih tanganku, mengambil buku gambar yang sudah aku remas sedari tadi. 

Aku hanya terdiam dan membiarkannya mengambil buku gambar itu. Ia membukanya dari halaman per halaman, ada raut wajah yang berbeda yang ia tampilkan di tiap helai lembar kertas yang ia buka. 

"Hari ini aku menggambar kamu," aku membuka mulutku dan mencoba untuk melihat reaksinya dari kata-kata yang aku lontarkan.

Ia membuka lembaran kertas yang terakhir dan memasang wajah bingung, "Menarik," katanya kemudian. 

"Don't use your psychology thing to me today." kataku sambil memandang wajahnya. 

"Tapi, kamu sendiri yang memilih aku dibandingkan harus bersama dengan psikolog beneran kan?" jawabnya sambil tersenyum. 

"I know," aku berkata sambil kembali menatap ke arah mentar yang semakin menyusut. "Tapi, hari ini, tidak perlu menganalisaku. Aku akan katakan alasannya kenapa," kataku mantap. 


Aku pun melanjutkan penjelasanku mengenai lukisan itu, mengenai dia, sosok kakak kelasku yang kupercayakan nasibnya untuk mengadu dan berkeluh kesah selama hampir satu bulan ini. Seseorang yang mampu membuat aku keluar dari kepompongku dan membantuku untuk bisa bebas dari ketakutan untuk keluar dari cangkangku. Menghadapi apa yang paling aku takuti dalam 3 bulan terakhir ini. 

"Tidak takut lagi donk?" ia bertanya sambil tersenyum.

"Tidak mungkin tidak takut. Tapi, it's okay." aku menjawabnya sambil mengangguk mantap. 

"Chemo will not defeat you, you'll be okay." katanya sambil meremas tanganku. 

"I will." aku balas remasan tangannya sambil menatap langit yang temaram tergantikan malam. 

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...