Skip to main content

Sebuah cerita akhir tahun

Ini adalah malam pergantian tahun dan aku masih disini, di sebuah meja kecil di pojokan sudut ruang kantor yang terlihat sangat lengang menunju tengah malam. Paling menyedihkan adalah ketika bekerja untuk seorang klien yang tidak tahu apa arti kata "liburan". Maka aku, masih diperbudak dengan rentetan angka yang berjejer di layar komputerku. 

"Belum pulang?" aku agak terperanjat dengan suara yang muncul dari arah belakangku. Secepat kilat aku membalikkan badan, memastikan memang ada sebuah mulut yang memproduksi suara itu. 

"Haah ..." aku menarik nafas panjang. Sedikit merasa lega karena sosok itu adalah manusia. Bukan sesuatu yang sering teman-teman kantorku buat sebagai lelucon tengah malam. 

"Belum. Sampe pagi kayaknya," aku menjawab sambil memasang wajah cemberut.

"It's almost midnight, don't you just wanna go?" dia masih berdiri bertanya. 

Aku melihat ia sudah menggendong tas ranselnya, oh, sudah mau pulang.

"Kamu sudah mau pulang ya?" aku bertanya sambil menengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan, memastikan apakah ada orang lain yang tersisa selain kami berdua. 

"Tadinya sih, tapi kamu berani sendiri?" 

Aku hanya menutup mukaku. Lelah dan sedikit takut untuk harus menghabiskan malam pergantian tahun ini sendiri di kantor yang sudah mulai pengap karena AC yang sudah dimatikan sejak pukul 7 malam tadi. 

"Ke atas yuk!" ajaknya kemudian. 

Aku hanya bengong menanggapi ajakannya, atas? "It's almost midnight, in like ..... 10 minutes. Let's go to the rooftop and see some fireworks." ajaknya lagi sambil menarik tanganku.

"Wait .. wait ..." aku berusaha melepaskan diri dari tarikannya dan memencet tombol SAVE secepat mungkin, takut jika hasil kerjaku selama hampir 14 jam ini kandas begitu saja. 

Ia menungguku hingga aku siap dan menaruh ranselnya di kursi di sampingku. Kami menaiki tangga darurat, karena untuk sampai ke atas sana tidak ada lift yang bisa membawa kami kesana. 

"Mari kita lihat, apakah dikunci ...." katanya sambil mencoba untuk memutar pegangan pintu. "... dan ternyata tidak! Yeay, lucky us!" sahutnya sambil tersenyum ke arahku. Dengan mantap ia berjalan keluar dari pintu itu, sedangkan aku hanya mengikutinya dari belakang sambil memperhatikan apakah ada petugas security yang akan menyergap kami mengendap-endap seperti ini. 

Sesampainya di atas gedung, ia hanya duduk di atas sebuah dinding pendek pembatas dan aku duduk di sebelahnya. Kami memandang ke arah utara, dimana keramaian sudah mulai terlihat dan suara-suara orang-orang tertawa dan berteriak mulai menggema disana-sini. 

Aku melirik ke arah telepon genggamku dan melihat bahwa tahun baru hanya sebatas 3 menit lagi. 

"Jadi, apa hal terbaik yang terjadi di tahun 2017 ini?" tanyanya kemudian memecah keheningan. 

"Got promoted dan naik gaji donk!" sahutku sambil tersenyum lebar. "Kamu apa?" aku menjawab sambil tertunduk. 

"You are." jawabnya sambil tersenyum.

Dan dari kejauhan terdengar orang-orang mulai berteriak, "3 ... 2 ... 1 .... teeeeeet" suara terompet dan keriuhan kembang api mulai terdengar kesana kemari. 

Wooooow, aku menengadah dan melihat betapa indahnya langit yang dipenuhi oleh warna-warna artifisial yang megah dan meriah. 

"I am sorry we have to end like this," aku tiba-tiba membuka suara. Ia menengok ke arahku sambil tersenyum. Ia menarik nafas panjang, " .. yeah, life happens." 

Aku tertawa .. aku tahu dia ingin berkata hal yang lain dan merubahnya menjadi sesuatu yang lebih halus. 

"Hey, let's go for a walk?" katanya kemudian. "I still owe you a long walk kan?" 

"Where do you wanna go? Aku masih ada deadline ini?" jawabku enggan. Mengingat laptopku menanti dengan setia 7 lantai dibawah. 

"Anywhere. Just enjoying the night. Come on, you're client won't open the email until Wednesday anyway." 

"Okay. Should we take your car then?" tanyaku lagi. 

"No. Let's just walk." katanya sambil kembali menarik tanganku menuju tangga darurat untuk turun. 

"But it was just raining. And there are lots of people on the street, so crowded .... and terlalu membahagiakan di tengah aku yang miserable dengan pekerjaan."

"Don't you just love how the city light reflect on the street after it rains. That's the best part, you know! Don't think too much. Let's move on!"

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...