Aku selalu suka dengan bandara. Ada banyak perasaan yang terasa di tempat itu. Entah sebuah hati yang tercabik karena perpisahan atau tangis bahagia para pelepas rindu yang akhirnya bisa kembali bersatu. Di bandara, sebuah perpisahaan menjadi tak terelakkan akan tetapi sebuah pertemuan selalu bisa menutup hari dengan senyuman.
Aku selalu suka dengan bandara. Bagaimana orang-orang berlarian mengejar waktu yang tertinggal dan sebagian lainnya menatap bosan ke penjuru arah karena waktu tunggu yang tak bergerak dengan cepat. Ketika orang-orang terperanjat dengan zona waktu yang baru. Bagaimana sebuah perasaan lucu mulai memasuki perut mereka saat menginjakkan waktu di tempat yang baru. Juga mengenai rasa takut untuk terbang memasuki dunia lain di seberang sana.
Aku selalu suka dengan bandara. Ketika berbagai orang dari seluruh bagian dunia bisa bertemu dan berinteraksi tanpa sengaja di sebuah tempat ..
"Adis!"
Sebuah suara membuyarkan lamunan panjangku. Aku menengok ke arah kanan, tempat dimana aku merasa suara itu berasal. Suara yang asing tapi cukup familiar di telingaku.
Sebuah sosok yang cukup aku kenal mulai beranjak, berjalan mendekatiku sambil melambaikan tangannya.
"Adis!" sosok itu kembali berteriak.
"Putra! Elo ngapain disini?" aku membalas teriakannya. Belum terjawab pertanyaanku, ia sudah menghampiri dan memelukku dengan erat.
"God, I can't believe I'm running into you here. Apa kabar?" katanya sambil melepaskan pelukannya dan memegang bahuku.
"Great! I'm ... great! Kamu yang sombong, ke Singapore tapi nggak ngabar-ngabarin ya!" aku menonjok lengannya yang semakin berotot.
"Ini hanya transit kok, aku nggak berniat untuk ke luar dari bandara juga. Makan yuk, laper!" ajaknya sambil membenarkan posisi ranselnya yang terlihat cukup berat.
"Yuk, my flight got delayed also for 2 hours." sahutku. "McD?" tanyaku.
"Pinter ... " jawabnya sambil tertawa.
Ia merangkul pundakku sambil berjalan menuju ke restaurant fast food kesukaannya. Tempat itu tidak terlalu jauh dari tempat dimana tadi kami bertemu. Seperti biasa, ia selalu memesan big mac, fries, dan coca cola. Ternyata, 2 tahun bukan waktu yang cukup untuk merubah menu kesukaan seseorang. Sedangkan aku hanya memesan coca cola float. Aku sudah makan dan sedang tidak dalam mood untuk menikmati setangkap roti isi daging.
"Kamu kurusan ya? Dan ... semakin .. apa itu panggilan teman setim-mu dulu untuk rambutmu ..?" katanya sambil mengunyah big mac yang benar-benar besar.
"Blondie?"
"Iya! Blondie!" sahutnya sambil tergelak.
"Iya nih. Aku merasa lebih cocok dengan rambut coklat muda seperti ini dibandingkan hitam. Disini lebih sering dibilang orang Filipina dibandingkan orang Indonesia bahkan."
"Suka kerja disini?" tanyanya.
"Suka. Tapi aku suka pulang ke Indo kok. Sekarang Mama sudah stay di Jogja sih, jadi aku jarang ke Jakarta. Laigipula, Jakarta is too similar to Singapore. Malas ketemu kota metropolitan melulu." aku bercerita sambil menghabiskan minumanku yang tinggal sedikit.
Aku melanjutkan ceritaku, bagaimana kehidupanku setelah kantor mengirimku untuk bekerja di negara lain dan penyesuaianku yang agak kewalahan dengan working hour di negara singa ini. Bagaimana hiruk pikuknya siang dan malam disini dan mengenai apartemen kecilku yang makin lama tidak pernah terurus karena aku lebih sering menghabiskan malam-malam di kantor atau di bahkan di bar.
"Gimana kantor?" aku bertanya kembali padanya.
"Nggak tahu. Aku sudah resign dari dua bulan yang lalu." sahutnya sambil tersenyum.
"Woaah .. kok nggak bilang-bilang. Terus pindah kemana?" aku terkejut dengan fakta yang baru kudapati ini.
"France. Lyon. Aku akhirnya dapat scholarship untuk lanjut kuliah disana. Giselle sudah disana duluan kan dari satu tahun yang lalu. Sekarang aku akan menyusul dia. That's why I transit in Singapore. "
"Good for you!" aku memeluknya dengan sebuah perasaan bangga. Aku ingat malam-malam yang ia habiskan untuk belajar mati-matian menguasai sebuah bahasa asing, demi mengejar mimpinya untuk menimba ilmu di negara yang ia bilang paling romantis di dunia. Bagaimana ia sering membual dan menggombali di depanku dengan bahasa Perancis yang masih pas-pasan dan aku hanya menanggapi gurauannya dengan modal Google translate.
"Hei .. " katanya.
Aku menengadah menatap wajahnya, "Nggak kangen sama aku 2 tahun ini?" tanyanya kemudian. Aku merasakan pipiku mulai memanas. Aku tahu pasti pipiku mulai merona.
"Ngeselin kamu!" aku meninju lengannya kembali. "Kamu kangen nggak?" aku membalas pertanyaannya.
"Miss. Tapi kata kamu aku nggak boleh ngontak kamu lagi."
Aku mengangkat bahuku, "Ya kan, nanti aku jadi pulang ke Jakarta terus kalo kita nggak 'udahan'."
"Besides, you already had a girlfriend kan? And even now, you are going to travel half around the world just to be with her." lanjutku kembali.
Aku mengingat masa-masa dimana dulu kami sering menghabiskan waktu bersama ketika kekasihnya, yang memang merupakan warga negara Perancis, sedang tidak berada di Jakarta. Bagaimana ia sering berkata bahwa sebenarnya ia mencintaiku, tetapi aku tahu bahwa aku bukanlah si kekasih yang bisa bersamanya seperti yang dia inginkan.
"I will even cut the earth into two if you asked me to, kan?" katanya kemudian.
"Itu gombal!" aku tergelak dan tertawa bersama dengan candaannya.
Tiba-tiba ia meraih passpor yang ada di sampingku dan membuka lembar boarding pass yang berada di dalamnya, "San Fransisco?" tanyanya bingung.
"I got a job there. Yeay?" aku berkata dengan hati-hati.
Aku masih ingat bagaimana pandangannya dulu ketika ia mengetahui bahwa aku akan ditransfer ke kota ini. Ia dulu berkata bahwa ia sangat bangga padaku tetapi aku tahu bahwa matanya berkata bahwa perpisahan itu tidak akan terasa menyenangkan. Yah, mana mungkin perpisahan terasa menyenangkan? Dan, kali ini, mengatakan padanya bahwa aku akan mengambil pekerjaan di sebuah ujung dunia yang jauh disana, sekali lagi, terasa berat. Padahal, setelah dua tahun, baru sekarang lagi aku bertemu dan berbicara dengannya.
"Of course, yeay!!" ia merangkulku. "You always make me proud." lanjutnya kembali.
"Bukan New York ya?" tanyanya kembali.
"San Fransisco first, then I will get to the apple city." jawabku mantap.
Ia mengusap rambutku. Sebuah perasaan yang sama seketika muncul lagi.
"Well, you have your apple already in here kan?" ia berkata sambil menepuk dadanya.
Aku tergelak tertawa. Aku masih ingat gurauanku kepadanya yang menamainya kepala apel karena bentuk potongan rambutnya dulu yang selalu mengingatkanku dengan buah apel.
"Anyway, look at us now. See, without me, you are okay kan, Putra?" aku kembali berkata padanya.
"We are okay, Adis. We are okay." ia menjawab sambil tersenyum.
Dan waktu pun bergulir terlalu cepat. Waktu boarding pesawat yang akan membawanya ke Paris sudah mendekat dan ia pun mengucapkan salam perpisahan.
Di akhir pertemuan itu, ia menegaskan kembali mengenai keinginannya untuk bisa menghubungiku kembali di lain waktu dan masih dengan jawaban yang sama dengan dua tahun yang lalu, aku menolaknya. Karena setelah membentengi hatiku akan bayang atas dirinya, aku menyadari bahwa aku masih mencintainya. Rasa yang sama dengan apa yang aku rasakan dua tahun yang lalu. Bahkan berlari ribuan kilometer jauhnya dari dia, masih tetap tidak bisa membuatku melupakannya.
Dan disitu, di sebuah bandara asing dari tempat dimana kami jatuh cinta, kami berpisah.
.
.
.
.
.
.
.
.
Aku selalu suka dengan bandara. Bagaimana sebuah pertemuan diakhiri dengan perpisahan, atau mungkin sebaliknya.
Comments
Post a Comment