Skip to main content

Teh dan Kopi (Part 3)

Sabtu ke-10

Teh

"Kamu sudah menikah?" aku bertanya seraya memperhatikan jari manisnya yang sudah terpasang sebuah cincin emas. 

"Oh ini?" dia bertanya sambil menunjuk cincin yang sedari tadi aku perhatikan. 

Aku mengangguk. 

"Belum. Akan." jawabnya singkat. 

"Engagement ring, ya?" aku kembali bertanya dan kali ini ia yang menjawab dengan mengganggukkan kepala. 

Aku memasang wajah bingung, "Kok kamu nggak pernah cerita?"

"Apa yang harus diceritain? Nggak ada yang menarik kok," jawabnya sambil tersenyum.

"Ya ..... it's not usual aja." jawabku ringan. 

Ia menarik nafas panjang, "Long story short; kami bertunangan sekitar enam bulan yang lalu. Maybe that's what people do when they have dated for so long." 

Aku menggeleng tanda tidak setuju. 

"Enggak gimana?" ia bertanya.

"Well, the happy ever after doesn't necessarily end with a marriage, kan?

"I don't know nothing about any happy ever after, but I believe that marriage is something that people do, or .. shall do."

"Masak?"

"Menurut kamu bagaimana?"

"I think ... love is enough. No string attached required."

"Kayaknya cinta itu overrated deh."

Aku memicingkan mata, merasa tidak setuju dengan jawabannya. 


Kopi

"Coba kamu minum teh ini." katanya tiba-tiba, seakan beralih dari topik yang sedang kami bahas. 

Aku menurutinya dan mengicipi black lemon tea yang ia pesan. 

"Bagaimana rasanya?" tanyanya.

"Enak." jawabku singkat.

"Jelaskan ke aku." pintanya lagi.

"Yeah, just the way lemon tea should taste."

"Explain it to me."

"Don't you know what a lemon tea taste like?" aku masih tidak paham dengan permintaannya. 

"I don't know what a lemon tea taste like TO you." jawabnya sambil tersenyum dan menatapku tajam. 

Aku terdiam cukup lama. Mengambil kembali cangkir itu dari genggamannya dan mencicipinya sekali lagi, "Oke," aku akhirnya membuka suara.

"Teh ini wanginya harum. Ada aroma manis dan sedikit asam. Ketika dicicipi, rasa pertama yang akan terasa ada asam dari lemonnya, tapi ... lama-lama rasa manisnya akan terasa. Lalu, setelah ditelan baru aroma tehnya menempel di mulut." aku mencoba untuk mendeskripsikan beberapa tegukan yang baru saja aku cicipi. 

Ia tersenyum sambil mencicipi cangkir lemon tea yang tadi aku cicipi. "Nah," ia membuka suara. "What is love to you, then?"

Aku mengangkat bahu, "I really don't know." 

"Apa yang kamu rasakan ketika kamu bersama tunanganmu?" dia bertanya.

"Nyaman ... biasa saja. But, days without her in it will be strange." 

Aku menatapnya, "kalo menurut kamu, cinta itu seperti apa?"

Ia menatap ke luar jendela, "Aku dulu pernah jatuh cinta," ia menarik nafas. "and it feels like the sun shines warmer than ever, birds sing beautifully, and night feels prettier than ever."

Ia menundukkan wajahnya dan menatap ke cangkirnya yang sudah hampir kosong, "But it was the worst days ever .. it feels like the oxygen has been taken away from my lung every time we're apart. It feels like every inch of my body is aching if I am longing for his hug.

"Tapi .." ia berhenti sambil tersenyum, "all of the aching is worth it when I could see his smile again, to hear his voice again. And I would rather be so miserably in love with him, than to not ever feel that love and not being in love."

Aku tersenyum, "Dimana si laki-laki beruntung itu?"

"Up there .." ia tersenyum sambil menunjuk ke langit.

Aku terdiam, "motorcycle accident .." jawabnya lagi sambil tersenyum menatapku. 

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...