Skip to main content

Teh dan Kopi (Part 1)

Sabtu ke-1

Teh

Hari ini kedai cukup ramai. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena sedang ada reservasi untuk .. akh, bridal shower

Sungguh menarik. Bagaimana mungkin orang merayakan sesuatu yang mengekang kebebasan dengan begitu bahagia? Bersolek, mengambil gambar, dan ... membuat lelucon dengan sebuah kue yang melambangkan sesuatu yang sangat personal. Aneh.

Kopi

Aku memasuki kedai ini dengan agak ragu-ragu. Temanku yang memberitahu bahwa tempat ini akan memberikan nuansa baru untuk lidahku. 

Ramai, pikirku. 

Dengan agak enggan aku memasuki kedai itu. Cukup menarik dengan interior yang lumayan minimalis. Agak bingung aku mencoba mencari tempat yang kosong. Hingga akhirnya aku melihat sebuah kursi di samping jendela yang terbuka. 

Ada seorang perempuan disana, duduk sendiri dengan hanya sebuah buku di tangannya. 

Aku mendekat, "Boleh ikut duduk disini?" 

Terbiasa untuk tinggal di negara tetangga, membuatku merasa tidak bermasalah untuk share table dengan orang lain. Toh, aku hanya akan mampir 10 menit di tempat ini. 

"Sure." sahut gadis itu sambil tersenyum. 

Dan, dengan sebuah penerimaan, 10 menit yang kurencanakan menjadi 3 jam penuh kejutan bersama dia. 


Sabtu ke - 4

Teh

Sudah hampir sebulan aku selalu mampir di kedai ini. Pada hari yang sama di jam yang sama. Tidak dipungkiri, mungkin karena aku selalu berharap bertemu dengan dia. 

Entah ada sihir apa yang membuat aku merasa takjub dengan ceritanya yang selalu menggebu-gebu, atau hanya karena aku sudah mulai jengah untuk menikmati senja di hari Sabtu seorang diri. 

"Hai, sudah lama?" aku tersadar dari lamunanku mendengar suara yang mulai tidak asing itu. 

"Hai! Wow! You look so ... great!" aku cukup tercengang dengan penampilannya yang agak parlente sore hari ini. 

"Yeah, tadi siang abis ketemu sama klien. Can you imagine how the client never want us to stop working?" sahutnya dengan raut muka agak lelah. 

"Kok belum pesan?" tanyanya lagi.

"Still cannot decide what to drink for this afternoon." aku menjawab sambil membuka-buka buku menu yang dari tadi aku anggurkan. 

"Kopi donk kalau begitu!" sahutnya sambil tersenyum. 

"No!" jawabku galak. 

Aku memanggil pelayan dan memesan chamomile tea sedangkan seperti biasa, ia memesan double espresso. Namun, kali ini ia juga memesan sepiring pasta. Ia berkata bahwa ia belum makan sedari pagi. 

"Jadi, ada cerita apa dengan klienmu hari ini?" tanyaku penasaran. 

Lalu, mulailah rangkaian cerita demi cerita akan mengalir dari mulutnya. Entah mengapa, cerita sepanjang apapun yang akan disampaikan, selalu menarik untuk didengar. Mungkin karena dunia yang ia hadapi jauh berbeda dengan duniaku. Atau ... mungkin aku hanya terkesima dengan caranya dalam menyampaikan kegagahan dunia di hadapannya. 


Kopi

Sudah menjadi sebuah rutinitasku di akhir pekan untuk selalu datang ke kedai ini selama satu bulan terakhir. Bukan karena kedai ini mampu meracik kopi dengan nikmat. Tetapi, aku menemukan sebuah kawan yang senantiasa menemani akhir pekanku. And the best thing is, no string attached! 

Seperti biasa pula, ia selalu bisa untuk mengajakku bercerita. Lama rasanya aku tidak memiliki teman yang mau mendengar. Hanya mendengar, tidak perlu sok-sok memberikan masukan ataupun malah menasihati. Hanya mendengar. 

"Yah, begitulah kira-kira hariku. Capek." aku menghela nafas sambil meneguk sisa espresso yang sudah mulai mendingin. 

Aku memanggil pelayan untuk meminta air putih. 

"Kamu belum cerita kenapa kamu suka sekali minum teh." tanyaku kemudian padanya. 

Ia tersenyum. Ia kemudian memintaku untuk menghirup wangi dari teko teh di hadapannya. 

"Coba cium," katanya kepadaku. Aku patuh dan menurutinya. 

"Wangi .. tapi kayak obat. Apa ini?" aku menjawab sambil mengernyitkan hidung. 

"Chamomile tea." jawabnya. "Teh ini bagus untuk kesehatan. Mungkin kalau yang terkenal bagus untuk kesehatan green tea doang ya? Chamomile tea ini terbuat dari bunga. Bunga chamomile. Unik ya?" ia menjelaskan lagi sambil tersenyum. 

"Jadi, kamu suka teh karena unik?" tanyaku. 

"Bukan. Kalau unik, mungkin teh yang ini," jawabnya sambil menunjuk ke cangkirnya yang mulai kosong. 

"Tapi .. secara umum, aku suka filosofi dari teh." ia mulai melihat ke luar jendela. Melihat ke langit yang sudah mulai menunjukkan lembayung kekuningan. 

"Tahu nggak tentang analogi air, kentang, telur, dan kopi?" tanyanya padaku. 

Aku menggeleng.

"Kalau kita merebus air lalu memasukkan kentang dan telur, kentang yang tadinya mengeras akan menjadi lembut. Sedangkan telur, akan menjadi keras. Jika air kita rebus dan kita beri kopi, maka air akan menjadi hitam. Nah, analogi itu yang sering dijadikan petuah-petuah. Air diibaratkan menjadi seperti hidup. Tergantung kita sekarang, apakah kita akan menjadi lembek seperti kentang, keras seperti telur, atau melebur seperti kopi. " 

"Lalu, teh nya dimana?" tanyaku lagi semakin tidak mengerti. 

"Aku suka teh, karena aku ingin menjadi teh. Bagaimana ia mengubah air menjadi 'air teh' yang berubah warna dan rasa. Tetapi, daun teh akan selalu ada. Ia akan membagi apa yang dia punya ke dunia, tetapi tidak pernah kehilangan jati dirinya." jawabnya sambil tersenyum. Ia menyeruput sisa teh di cangkirnya dengan puas. 

"Selain itu, aku juga ingin menjadi penyembuh. Bermanfaat bahkan ketika aku sudah menjadi ampas. Bisa untuk jadi masker dan bikin orang jadi cantik." 

"Tapi, kalau aku seringnya masukin teh celup ke kotak sepatu buat menghilangkan bau kaki." godaku sambil tertawa.

"Eh, kok aku jadi turun kasta." jawabnya sambil meninju lenganku dan tertawa. 


.......... bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...