Skip to main content

Small Talk

"I don't believe we actually did it," tiba-tiba perempuan itu membuka suara. Di tengah deruan nafas mereka yang beradu, hanya ada suara desiran AC yang menemani mereka di malam itu. 

"You didn't like it?" laki-laki itu menoleh ke arah perempuan yang terbaring di sampingnya. 

Perempuan itu tertawa kecil, "Love it, babe." jawabnya seraya mengecup bibir si laki-laki yang masih terlihat agak terkejut. 

Si laki-laki bangkit dan berjalan dan memainkan musik dari sebuah iPod yang terpajang tepat di hadapan tempat tidur mereka. 

"You want something to drink?" tanyanya sambil menoleh ke si perempuan yang masih berbaring di atas seprai putih. 

"I want to have a cigarette, can I?" 

"Kamu merokok?" 

"Occasionally, tapi kalau disini nggak boleh merokok ya nggak apa-apa lowh." perempuan itu bangun dan menghampiri si laki-laki. "A glass of wine, will be just fine." 

"Bukan tidak boleh, tapi aku nggak suka. I never picture you with a cigarette, it doesn't suit you. You should quit."

"Waah ... are you my father?" tanya si perempuan dengan mata membelalak. 

"Ya kan, since we are trying to be open to one and another,  I am just simply stating my opinion. Jangan cemberut, kamu nggak lucu lagi nanti."

"Emangnya aku kelinci, kok lucu?" si perempuan merajuk manja sambil mengerutkan bibirnya. 

"Kan kamu my bunny," si laki-laki mencoba mencium bibir si perempuan itu, tetapi si perempuan mengelak, "Apaaaa?" teriak 

"Nggak mau akh, kesannya jadi kayak cewek-cewek yang ada di cover Playboy," jawab si perempuan, " and that makes you Hugh Hefner." lanjutnya lagi sambil tertawa. 

"Then, what shall I call you?

"Menurut kamu, what suits me best?" si perempuan bertanya manja seraya mendekatkan badannya ke arah si laki-laki.

"Will 'love' be enough?" 

Si perempuan mengecup bibir si laki-laki sambil memeluknya erat. "Tapi, stop smoking ya?" lanjut si laki-laki di tengah kecupannya. 

Si perempuan hanya tertawa dan melanjutkan kecupannya yang semakin dalam. Hingga akhirnya pelukan diantara keduanya merenggang.

"Kamu suka saxophone?" tanya si perempuan.

"Not really. Cuma di lift ini waktu itu sering aja masang lagu-lagu dengan cover saxophone and I thought it's a good after-sex soundtrack, kan?" jawab si laki-laki sambil tersenyum. 

"Enggak juga," si perempuan menjawab seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil segelas wine yang daritadi sudah didiamkan di pinggir tempat tidur. 

"Aku sukanya .... nggak ada musik." lanjut perempuan.

"Garing donk?" 

"Well, hearing the sound of your breathing itself is not boring." 

Si laki-laki menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, ia menarik nafas panjang dan kemudian berkata "Why don't you just spend the rest of your night here?"

Lama si perempuan terdiam, terlihat ragu-ragu. 

"Stay, will you?" tanya laki-laki itu kembali. 

".. but I don't know what to do for the rest of the night here." jawab si perempuan sambil tertawa. 

"You could just do me." si laki-laki menjawab seraya menenggalamkan wajahnya ke dalam tubuh si perempuan. 

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...