Skip to main content

Teh dan Kopi (Part 2)

Sabtu ke-6

Teh

"Jadi, kenapa kamu tidak suka membeli buku?" aku bertanya padanya tanpa basa -basi. 

"Maksudnya?" ia membelalakkan matanya. Sambil perlahan meletakkan cangkir kopinya. 

"Itu .. " aku menunjuk ke i-Pad yang selalu ia bawa-bawa. Aku pernah mengintipnya bekerja dan aku tahu semua coretan-coretannya akan dia simpan di dalam iPad itu.

"Dari kesimpulan mana kamu bisa bilang aku nggak suka membeli buku? Sok tahu!" sahutnya sebal.

"Well, sorry .. it's my bad habit to ask with accusation. Aku coba rephrase ya, kamu kok suka scribbling di layar sentuh itu?"

 "Eco friendly, kan?" jawabnya sambil tertawa. 

"Actually there is no particular reason at all, sih. Tapi lebih praktis aja, karena dalam sebuah benda yang sama, aku  bisa melakukan banyak hal sekaligus. Nggak ribet. Why?


Kopi

"Kurang romantis aja," sahutnya menanggapi jawabanku. 

"Kok kurang romantis? Ini kan masalah efisiensi bukan masalah romantis atau tidak."

"Ya kan aku cuma menanggapi." jawabnya sambil tersenyum kecil. 

"Jadi, kamu nggak go green ya anaknya?" godaku kembali. 

"Memakai gadget untuk mengganti buku kan tidak serta merta membuat aku jadi orang yang tidak peduli dengan lingkungan. Tapi kalau ditanya aku prefer bawa buku atau iPad aku akan lebih memilih buku."

"Pasti jaman sekolah, kamu bungkuk ya? Kebanyakan bawa buku sekolah yang tebal-tebal," aku tertawa.

"Iya juga yaa ...." sahutnya sambil mengerutkan dahi. Ya Tuhan, menggemaskan sekali.

"Tapi," sahutnya kembali. "aku suka bagaimana tangan kita menahan berat dari buku yang kita baca. Aku suka adanya gesekan antara kulit kita dengan kertas itu. Apalagi kalau menulis, seakan-akan ada intimasi antara aku dan bukuku .. dan hanya kami yang tahu." ia menjelaskan maksudnya dengan mata berbinar-binar. Seperti layaknya seorang gadis yang benar-benar tengah jatuh cinta dengan .... sebuah buku. 

"Misalkan nih, kamu mau bikin surat cinta, gimana caranya?" tanyanya menantangku.

"Well, we have e-card, right?" jawabku spontan.

"Kamu emang manusia tidak romantis! Pasti nggak seru jadi pacarmu!" sahutnya sambil tertawa. 

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, merasa tersindir dengan ucapannya yang sebenarnya sering menjadi keluhan mantan pacarku. 

"Ketika kamu mulai memegang pena dan mengguratkannya di atas kertas, effortnya jauh lebih sulit dibandingkan hanya tutul-tutul di touch screen," jelasnya sambil mempraktekkan penggunaan iPad.

"It's like transferring you into the words. Dan itu melatih bagaimana kamu benar-benar memikirkan setiap kata-kata yang kamu mau tuliskan dan bukan hanya tinggal hapus dengan pencet 'delete"  aja."

"Tapi itu nggak praktis. I mean in terms of working, lowh." jawabku tidak mau kalah. 

"Betul," 

"Lagipula dengan pake device, semua yang aku punya akan selalu bisa tersimpan. Buku tidak akan hilang dan bisa aku baca kapan pun dan dimanapun. Teknologi kan memudahkan." aku bersikeras memberikan pembelaan.

"Will not argue with you on that, I just stated out my mind kan? Santai aja, Pak." ia mencubit lenganku dan kami berdua tertawa menyambut malam yang semakin larut. 


Sabtu ke-7

Teh

"Aku baru notice, gantungan kunci kamu lucu." sahutku ketika ia baru saja duduk. 

"Apa? Ini?" ia menunjuk ke gantungan kunci yang dipegangnya sedari ia datang. 

"Yes! Kamu suka .. apel?" 

"Isn't that obvious? Kan semua gadgetku keluaran Apple." jawabnya sambil tersenyum.

"Oh, karena itu," aku mengangguk. 

Lalu ia tiba-tiba tertawa, "Bukan sih, ada ceritanya dengan gantungan kunci ini." jelasnya sambil menunjukkan gantungan itu ke hadapanku. 

"Terlalu kekanak-kanakan untukku kan?" tanyanya padaku. Aku hanya menggangguk tanda setuju. 

"This was given to me once from one of my dear friend, she's now in New York." ia mulai bercerita. Aku yakin cerita ini akan menjadi salah satu cerita panjang kami di sore hari ini. 

"Aku tidak tahu sejak kapan aku bercita-cita ingin sekali pergi ke New York. Mungkin karena aku yakin disana aku bisa mengejar cita-citaku. Or maybe, ayahku selalu bilang bahwa Amerika adalah negara hebat yang harus aku singgahi suatu saat nanti."

Ia menghela nafas panjang, "Jadi, rasanya kalau aku belum pernah pergi ke New York sebelum aku mati, mungkin ....... aku akan jadi arwah penasaran." lanjutnya sambil terkekeh sendiri. 

Aku ikut tertawa mendengarnya, namun tetap diam dan hanya menunggu kelanjutan kisahnya. 

"So, the Big Apple is a big goal for me. A purpose. A dream. Nah, temanku itu mengirimkan gantungan kunci itu dari New York untuk memacuku pergi kesana."

"Kalo kamu," ia bertanya padaku, "tempat mana yang benar-benar ingin kamu kunjungi sebelum mati?"

Kopi

Lama ia termanggu dengan pertanyaanku. Hingga akhirnya bibirnya bergerak, "Aku mau ke Austria."

"Austria? Yang di Eropa kan?"

"Ya iya di Eropa, kalau yang tetangga kita namanya A-US-TRALIA" jawabnya sambil mengeja nama benua tetangga tersebut. 

"Ada apa memangnya dengan Austria? You want to be the next Von Trapp family or what?" aku bertanya sambil menyeruput kopiku yang sudah mulai mendingin. 

"Wah!! You know the Sound of Music?" tanyanya bersemangat dengan membelakakan matanya. 

"Well, who doesn't?" jawabku santai. 

"A lot of people!

"Jadi, benar kamu mau kesana untuk me-remake film musikal itu?" 

"Enggak. Aku ingin belajar musik disana. I want to play my violin on the hill over there and just .... enjoying the green grass and the view of Alpen."

"Kamu main biola?" aku cukup terkejut dengan fakta baru yang kutemui itu. 

Ia mengganguk, ".. also piano and flute." jawabnya kembali. 

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...