Skip to main content

the real life - part 2



"Mencoba Berdamai dengan Keadaan"


Kembali lagi membicarakan 30 hari saya bergelut dengan KKN. Buat saya, KKN itu singkatan dari Kuliah Kok Ngrepoti. Bagaimana tidak? Kerjaan selama 2 bulan dengan 30 hari untuk Live In, pengeluaran dadakan untuk menomboki biaya hidup di lokasi atau sekedar menutup kekurangan dana kegiatan, dan harus tinggal berjauhan dengan peradaban yang biasa saya tempati ternyata hanya berbobot 3 SKS. Sama saja saya sedang menempuh mata kuliah yang cukup saya datangi 3 jam dalam seminggu per semesternya. Lalu, apakah hal ini worthed?

Kalau saya hanya melihat dari bobot SKS'nya, jelas saya
pengen banget mencak-mencak sambil berteriak bahwa semua ini gak fair. Kayaknya kok gak sebanding dengan perjuangan yang saya dapatkan demi mendapatkan nilai sempurna untuk 3 SKS itu.

Lalu, saya kemudian melihat, apa gunanya KKN ini untuk profesi saya? Wong ternyata program-program saya gak banyak yang berhubungan dengan jurusan saya. Nah, K.O. sudah. Saya langsung labil dan langsung negative thinking dengan KKN ini. Buat saya, it's just waste of time and money.

Kemudian ...
Akhirnya mau tidak mau, saya pun mulai angkat kaki dan pergi menuju ke desa tersayang ...

Seminggu pertama adalah hari-hari yang cukup menyiksa buat saya. Saya bingung mau ngapain, saya nggak tau bagaimana harus bersikap, saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan.

Berada bersama orang-orang yang baru adalah tantangan yang cukup berat bagi saya. Saya bukan orang yang mudah terbuka, bukan orang yang easy going, dan mungkin cukup kaku untuk membangun sebuah tali pertemanan. Lalu, tiba-tiba saya harus hidup 1 atap dengan orang-orang yang baru saya kenal selama kurang lebih 1 bulan. Wow!

Saya nggak tahu harus berbuat apa, karena biasanya saya selalu berlindung di balik punggung pacar saya yang besar yang paling mengerti bagaimana caranya berbasa basi. Gosh! Dengan sesama mahasiswa aja saya kesusahan, apalagi dengan warga setempat yang notabene budaya'nya berbeda sekali dengan keseharian saya. Saya dibuat cukup terpontang panting. Terlebih lagi, saya nggak fasih bicara bahasa jawa. Jadi, saya ya cuma "nggeh..nggeh.." aja.

But then .. time goes by ..
Gak kerasa ternyata 30 hari bisa saya lalui, dan bagaimana cara saya melaluinya?
Saya berdamai dengan keadaan!

Saya berdamai dengan situasi dan kondisi yang gak bisa sepenuhnya saya kendalikan. Saya berdamai dengan keadaan yang membuat saya terjepit tetapi masih bisa saya hadapi dengan senyuman. Saya berdamai dengan semua kegalauan hati saya yang mencoba untuk kabur dari tempat itu dan mencoba untuk memahami keseluruhan proses yang harus saya alami ini.

Lucu .. dengan sedikit saya toleransi yang saya berikan, akhirnya saya berdamai dengan diri saya sendiri yang uring-uringan, yang mudah bad mood, dan yang terlalu manja ini. Saya kemudian juga menyadari bahwa nggak semua yang saya inginkan bisa saya dapatkan. Saya jadi anak presiden aja kayaknya juga gak bisa sebegitu egoisnya (harusnya). Hahaha.

Anyway ..
Semua ini akhirnya bisa saya terapkan setelah saya pulang KKN.
Saya jadi rajin untuk bersih-bersih kamar kost saya yang waktu pulang serasa menjadi sarang laba-laba.
Saya jadi rajin mandi (2x sehari!) walopun udaranya dingin. Yah, di Cangkringan jauh lebih dingin dan saya berhasil mandi jam 8 malam, masak di Jogja nggak bisa?
Saya jadi suka cuci piring. Thanks God, saya nggak perlu nimba air kalo mau cuci piring. Hahaha.
Saya jadi bisa bergaul dengan lebih santai dengan orang-orang yang ada di sekitar saya yang selama ini saya cuekin.
Saya jadi bisa memahami kalau di dunia ini nggak semua orang merasa apa yang saya rasain, so speak it out!


Well .. mencoba berdamai itu butuh waktu lama. Tapi, saya senang saya bisa. Karena, ternyata dari semua yang saya alami di KKN, sepertinya pelajaran paling besar adalah mencoba berdamai dengan keadaan. Things that something we can't expect, predict, and avoid.

So, sudahkah kamu mencoba berdamai dengan hidupmu?
:)

Comments

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...