Kembali lagi membicarakan 30 hari saya bergelut dengan KKN. Buat saya, KKN itu singkatan dari Kuliah Kok Ngrepoti. Bagaimana tidak? Kerjaan selama 2 bulan dengan 30 hari untuk Live In, pengeluaran dadakan untuk menomboki biaya hidup di lokasi atau sekedar menutup kekurangan dana kegiatan, dan harus tinggal berjauhan dengan peradaban yang biasa saya tempati ternyata hanya berbobot 3 SKS. Sama saja saya sedang menempuh mata kuliah yang cukup saya datangi 3 jam dalam seminggu per semesternya. Lalu, apakah hal ini worthed?
Kalau saya hanya melihat dari bobot SKS'nya, jelas saya
pengen banget mencak-mencak sambil berteriak bahwa semua ini gak fair. Kayaknya kok gak sebanding dengan perjuangan yang saya dapatkan demi mendapatkan nilai sempurna untuk 3 SKS itu.
Lalu, saya kemudian melihat, apa gunanya KKN ini untuk profesi saya? Wong ternyata program-program saya gak banyak yang berhubungan dengan jurusan saya. Nah, K.O. sudah. Saya langsung labil dan langsung negative thinking dengan KKN ini. Buat saya, it's just waste of time and money.
Kemudian ...
Akhirnya mau tidak mau, saya pun mulai angkat kaki dan pergi menuju ke desa tersayang ...
Seminggu pertama adalah hari-hari yang cukup menyiksa buat saya. Saya bingung mau ngapain, saya nggak tau bagaimana harus bersikap, saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan.
Berada bersama orang-orang yang baru adalah tantangan yang cukup berat bagi saya. Saya bukan orang yang mudah terbuka, bukan orang yang easy going, dan mungkin cukup kaku untuk membangun sebuah tali pertemanan. Lalu, tiba-tiba saya harus hidup 1 atap dengan orang-orang yang baru saya kenal selama kurang lebih 1 bulan. Wow!
Saya nggak tahu harus berbuat apa, karena biasanya saya selalu berlindung di balik punggung pacar saya yang besar yang paling mengerti bagaimana caranya berbasa basi. Gosh! Dengan sesama mahasiswa aja saya kesusahan, apalagi dengan warga setempat yang notabene budaya'nya berbeda sekali dengan keseharian saya. Saya dibuat cukup terpontang panting. Terlebih lagi, saya nggak fasih bicara bahasa jawa. Jadi, saya ya cuma "nggeh..nggeh.." aja.
But then .. time goes by ..
Gak kerasa ternyata 30 hari bisa saya lalui, dan bagaimana cara saya melaluinya?
Saya berdamai dengan keadaan!
Saya berdamai dengan situasi dan kondisi yang gak bisa sepenuhnya saya kendalikan. Saya berdamai dengan keadaan yang membuat saya terjepit tetapi masih bisa saya hadapi dengan senyuman. Saya berdamai dengan semua kegalauan hati saya yang mencoba untuk kabur dari tempat itu dan mencoba untuk memahami keseluruhan proses yang harus saya alami ini.
Lucu .. dengan sedikit saya toleransi yang saya berikan, akhirnya saya berdamai dengan diri saya sendiri yang uring-uringan, yang mudah bad mood, dan yang terlalu manja ini. Saya kemudian juga menyadari bahwa nggak semua yang saya inginkan bisa saya dapatkan. Saya jadi anak presiden aja kayaknya juga gak bisa sebegitu egoisnya (harusnya). Hahaha.
Anyway ..
Semua ini akhirnya bisa saya terapkan setelah saya pulang KKN.
Saya jadi rajin untuk bersih-bersih kamar kost saya yang waktu pulang serasa menjadi sarang laba-laba.
Saya jadi rajin mandi (2x sehari!) walopun udaranya dingin. Yah, di Cangkringan jauh lebih dingin dan saya berhasil mandi jam 8 malam, masak di Jogja nggak bisa?
Saya jadi suka cuci piring. Thanks God, saya nggak perlu nimba air kalo mau cuci piring. Hahaha.
Saya jadi bisa bergaul dengan lebih santai dengan orang-orang yang ada di sekitar saya yang selama ini saya cuekin.
Saya jadi bisa memahami kalau di dunia ini nggak semua orang merasa apa yang saya rasain, so speak it out!
Well .. mencoba berdamai itu butuh waktu lama. Tapi, saya senang saya bisa. Karena, ternyata dari semua yang saya alami di KKN, sepertinya pelajaran paling besar adalah mencoba berdamai dengan keadaan. Things that something we can't expect, predict, and avoid.
So, sudahkah kamu mencoba berdamai dengan hidupmu?
:)
Comments
Post a Comment