Skip to main content

Mimpi saya untuk mereka - penolong skripsi saya!


Beberapa hari belakangan ini, saya jadi teringat komentar teman-teman atau orang-orang yang bertanya tentang tugas akhir saya. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat klise dan bisa saya jawab apa adanya. Karena penelitian saya berhubungan dengan orang Tunarungu, dan ternyata pas nya lagi, di try out saya yang (Alhamdulilah) ke-tiga kalinya, saya diminta untuk ganti metode sama dosen pembimbing saya. Pada awalnya, cara saya mengambil data adalah dengan metode survei dengan mengisi skala/kuestioner, lalu, karena data saya tak kunjung valid, dosen pembimbing saya yang pantang menyerah dengan penelitian saya, mengusulkan saya untuk mengambil metode wawancara untuk mengambil data.

http://maxcdn.fooyoh.com
Pertanyaannya adalah: "Bagaimana cara mewawancara mereka?"

Pertanyaan itu sering sekali ditanyakan oleh orang-orang yang tahu mengenai seluk-beluk skripsi saya. Ada yang keheranan, ada yang merasa itu cukup mustahil, ada yang merasa saya ini becanda, atau bahkan ada yang merasa kalau saya itu keren sekali.

Pertanyaan lainnya adalah, "Jadi, kamu bisa bahasa isyarat?"

Dua pertanyaan itu bisa saya jawab dengan mudah, saya dengan pede dan lantang langsung bersuara,
"Mereka kan nggak belajar bahasa isyarat di sekolah, belajarnya oral. Jadi, mereka bisa baca bibir saya dan mereka jawabnya juga secara oral."

Ada yang merasa terheran-heran dengan jawaban saya itu, karena mungkin jawaban itu bukan seperti yang mereka pikirkan selama ini. Bahwa pengetahuan orang pada umumnya adalah orang TunaWicara hanya berkomunikasi dengan menggunakan isyarat dan tidak bisa 'berbicara' (oral) sama sekali. Lalu, mereka akan kemudian merasa bahwa teman-teman Tunarungu yang saya wawancarai hebat sekali karena bisa 'bicara' dengan orang normal dengan cara yang 'normal' juga.

Pada awalnya, saya juga merasa kalau itu keren sekali. Bahwa hal tersebut mudah sekali, mengingat saya nggak punya basic apa-apa tentang bahasa isyarat kecuali finger spelling yang juga masih suka ribet kalo harus cepet-cepet. Tapi kemudian, ketika saya mulai ikut PSIBK dan kenal dengan orang-orang Kentalis, saya baru tahu bahwa ternyata metode yang diajarkan di Indonesia itu sudah kedaluarsa. Kedaluarsa banget malah. Ternyata, pemaksaan anak Tunarungu untuk menggunakan oral itu sudah ditinggalkan sejak jadul sekali.

Saya jadi semakin tahu, ketika saya nonton film Switch at Birth. Film serial itu menceritakan tentang bagaimana 2 orang anak tertukar selama 16 tahun dan ternyata salah satunya adalah anak Tunarungu. Setelah mereka bisa kembali dengan orangtua aslinya, orangtua asli si anak Tunarungu ini kemudian mencoba untuk menjadi anak mereka 'normal'. Padahal, mau diapa-apain juga nggak bisa se'normal' anak lain yang mendengar.

Hal ini kemudian menyadarkan saya bahwa banyak sekali orang-orang yang masih mencoba untuk menyempurnakan mereka yang memang tidak bisa sempurna. Terlebih lagi, ketika saya bertemu dengan teman-teman Deaf Art Community (DAC), mereka bahkan merasa cukup lelah dan marah dengan metode sekolah yang memaksakan pengajaran oral. Memaksakan mereka untuk mendengar dan berbicara; memaksa mereka untuk menjadi normal. Padahal, hal tersebut sama saja mencuri bahasa asli yang ada pada diri mereka; bahasa isyarat.

http://skreened.com
Lebih mudahnya kalau mau membayangkan, hal itu sama seperti seseorang yang tinggal di lingkungan Jawa dan lahir dengan membawa budaya Jawa tapi dipaksa untuk bisa bahasa Batak. Nah, itu kan sama saja mencuri budaya mereka. Padahal anak Tunarungu juga memiliki budaya mereka sendiri, dan mengapa orang-orang normal mencoba untuk merenggut itu.

Lalu, mungkin ada juga orang-orang yang akan berpikir bahwa orang Tunarungu itu sedikit dan mau tidak mau mereka harus keluar untuk berbicara dengan orang normal yang tidak bisa bahasa isyarat. Nah, mengapa orang-orang di lingkungan sekitar yang mencoba untuk memahami mereka. Untuk belajar bahasa mereka. Memangnya berbeda ya dengan mencoba belajar bahasa Mandarin, Perancis, Arab, atau Inggris?

Hari ini, saya datang di tempat teman-teman DAC berkumpul dan saya sempat merasa terasing karena saya nggak mengerti apa yang mereka sedang bicarakan. Hanya beberapa jam saja, saya sudah akan merasa nggak nyaman. Lalu, saya mencoba membayangkan, betapa tidak nyamannya mereka setiap saat berada di antara orang-orang yang tidak memperdulikan ketidak mengertian mereka?

Mereka itu tidak mau dikasihani, bahkan mereka juga bilang sama saya kalau mereka itu sama saja seperti saya dan orang lain. Mereka hanya tidak bisa mendengar. Sama seperti orang yang mungkin tidak bisa naik motor, tidak bisa memasak, tidak bisa main gitar, ya pokoknya tidak bisa melakukan sesuatu hal. Sedangkan mereka, masih bisa kuliah (ada yang kuliah di USD & ISI lowh!), masih bisa bekerja, masih bisa melakukan hal-hal keren seperti mendesain, melukis, menari, pantomim, dll.

Apa yang akhirnya saya pelajari adalah, bahwa yang namanya berbeda itu nggak apa-apa. Toh, semua orang itu memang berbeda. Tetapi, untuk memaksa orang menjadi sama seperti kita, kok rasanya kurang manusiawi ya? Kayak nggak ber-bhineka tunggal ika aja gitu.

Mungkin, suatu saat nanti, dengan semakin majunya teknologi, pendidikan, dan sebagainya; teman-teman Tunarungu ini pun makin dikenal budayanya. Makin dihargai karyanya dan semakin disejajarkan dengan orang-orang yang belum merasa sejajar dengan mereka. Semakin dibiarkan untuk menjadi berbeda dan tidak pernah lagi dipaksa untuk menjadi sama dan membosankan.

Semoga suatu hari nanti bisa ya! 




Comments

  1. yooo met berjuang..minimal orang tuna rungu tidak akan pernah lelah mendengar curhatmu dari samping mreka

    ReplyDelete
  2. Tahun lalu aku pernah liat perform DAC di acara ultah Yakkum. Mereka bisa nari Git..
    Ga percaya jg, koq bisa ya, nari sesuai lagi dengan hentakan lagunya.
    Heran bagaimana mereka bs latiannya yaaa.. ^^ keren..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...