Skip to main content

airport

Pernah dengar pepatah yang bilang kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Mungkin, pepatah itu memang ada benarnya walaupun kita nggak pernah bisa mastiin kapan waktunya dan dimana tempatnya. Tapi, buat saya, salah satu tempat yang sepertinya bisa ngebuat saya benar-benar mendapatkan feel'nya untuk bertemu dan berpisah sama orang adalah bandara.

Yap! Bandara.
Sangat jelas kalau dari tempat itu orang bisa terbang pergi kemana pun dan kembali lagi pakai pesawat terbang. Nggak jarang juga kalau saya lagi nongkrong di bandara, saya sering banget ngeliat orang pada nangis-nangis karena mau pisah sama keluarganya, pacarnya, temennya, atau mungkin cuma kenalannya. Tapi, nggak jarang juga di terminal kedatangan banyak banget raut muka orang-orang yang sumringah karena bertemu orang yang sudah dinanti-nanti. How magical that place is!

Nggak hanya observasi langsung, saya inget jaman saya SD dan saya nonton film Indonesia yang waktu itu lagi ngehitz banget, Ada Apa Dengan Cinta (Emangnya ada apa ya dengan si Cinta?). Well, intinya di film itu, saya inget banget ada adegan yang kayaknya amazing banget bin mustahil. Which is adegan dimana si Cinta itu bisa berlari dengan bebas menuju ke terminal keberangkatan yang udah nyampe ke last gate buat nemuin sang Rangga. Padahal jelas banget ya, untuk bisa lolos kesana harus punya tiket, udah gitu harus bayar airport tax, belom lagi ada pemeriksaan boarding pass, kok ya bisa-bisanya dia lari tunggang langgang ampe sana? Wah .. pilem .. pilem .. sometimes suka nggak masuk akal, yang penting bagus!

Ternyata nggak cuma film dalam negri aja yang nggak masuk akal, film luar negri juga suka ada yang aneh, kayak film the Terminal, kisah si Tom Hanks yang terperangkap di sebuah bandara gara-gara negaranya lagi hancur terus bisa bikin macem-macem hasil arsitektur. Wagu aja, kok ada orang bisa betah tinggal di airport. Hahahaha.

Tapi, ada juga kisah yang seru mengharukan waktu di Airport kayak film Dear John yang bahagia bertemu dengan kekasihnya atau film Love Happen yang kurang lebih sama. Tapi enak ya kalo di luar negri, kalo kangen ama orang terus ketemu tinggal lari menuju si cowok trus loncat minta gendong and ciuman. Kalo di sini sih bisa-bisa di 'priwiit' sama satpam. Hehehe.

Nah, kalo moment paling aneh yang pernah saya rasain sendiri itu waktu saya and kakak saya lagi berlibur ke Menado. Setelah beberapa jam perjalanan terbang dari Jakarta dengan cuaca yang buruk, akhirnya kami mendarat juga. Surprisingly, sekeluarnya kita dari bandara kita disambut sama rombongan marching band! Wah, langsung GR deh. Brasa orang penting gitu. Tapi ternyata, tiba-tiba dari belakang kita munculnya rombongan berseragam merah-merah yang ternyata adalah calon gubenur Sulawesi Utara selanjutnya. And, that marching band was belong to them, not us. Yah, kecewa dah kita. Hahahaha.

Tentang bandaranya sendiri, sebenarnya buat saya tiap bandara itu harus nyaman. Itu kan tempat kita menunggu sebelum nasib kita dipertaruhkan. Ya, kan kalo terbang itu resikonya besar, jadi harus prepare for the worst juga kan? (Amit-amit!! Ketok jidat. Ketok kayu.) Tapi, kenapa ya, banyak bandara di Indonesia yang kurang comfi. Gak cuma itu, harga barang-barangnya mahalnya naujubilah deh. Rasa-rasanya tuh, kalo bawa uang di bawah 300rb aja udah sekarat. Anehnya lagi, kenapa ya waiting room internasional itu lebih bagus daripada yang domestik? It's not fair! Kita semua kan juga butuh pemandangan bagus. Padahal saya jarang-jarang masuk ke terminal internasional. Jadinya berasa rugi aja bayar airport tax. Huff.

Well well well ..
Talking about the airport, mau dari tempatnya, dari situasinya, dari cerita-cerita di dalamnya, rasanya bandara itu kayak sebuah tempat magis dimana sebuah cerita bisa dimulai dan diakhiri. Depends darimana tentunya kita melihatnya. So funny, bagaimana sebuah terminal bisa menjadi sebuah kisah panjang atau sebuah titik.

Yah, saya sudah bercerita tentang kisah-kisah bandara saya. Kalau tentang pelabuhan cinta saya? Hahahaha. Talk later!
:D

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...