Skip to main content

lukisanku di atas kanvasmu

Namanya Bari Natanegara. Seorang laki-laki yang aku kenal tidak sengaja di tempat ini. Cafe langgananku selama aku kuliah di Yogyakarta. Ternyata ia juga merupakan seorang pelanggan tetap cafe itu. Kami hanya tidak pernah bertemu di waktu yang sama, kecuali hari itu. Ketika ia mulai membentangkan kanvasnya dengan lebar dan memasang setting cafe itu sebagai latar dari lukisannya. Termasuk aku, sebagian kecil dari latar itu.

Saat itu juga, aku mulai jatuh cinta. Pada kanvas itu. Pada tangan kokoh yang terasa sangat halus ketika menorehkan kuas-kuas mungil yang tak seberapa besar dibandingkan tubuhnya yang tinggi tegap. Pada satu sosok, yang saat ini kupanggil Ari.

***

“Jangan panggil Bari. Kayak Bapak-bapak aja, Ari aja. Yang sedang me”NATA-NEGARA”. Hahaha.”

Aku selalu ingat dengan leluconnya atas namanya sendiri. Nama yang sudah dititahkan oleh mendiang ayahnya ketika ia baru saja lahir. Ia selalu merasa nama itu terlalu berat untuknya, yang kemudian menjadi alasan mengapa ia tidak berhasil sukses seperti saudara-saudaranya yang lain yang telah menjadi pembisnis terkenal.

Ia selalu bergurau bahwa sepertinya ayahnya menginginkannya menjadi seorang politisi atau pejabat pemerintahan yang menata negara ini. Betapa ia membenci profesi itu. Profesi yang ia takutkan akan membuat rambut lurusnya menjadi keriting dan ruwet. “Hidup kok ngoyo?” selalu itu yang ia utarakan ketika melihat kesibukan pemerintah menata negara yang sedang mendidih ini.

Ari bukanlah kekasihku. Ia adalah salah satu temanku yang paling setia menemaniku selama enam tahun ini. Ia yang mendampingiku ketika aku harus bergelut dalam inagurasi kampus yang aku rasa tak manusiawi. Ari bahkan menjadi orang yang mendampingi aku ketika harus bertarung melawan kemalasanku menghadapi tugas akhir. Mungkin, kalau saat itu aku tidak menemukan Mas Tomi, kekasihku pada saat ini, ia juga yang akan menggandeng tanganku ketika aku mengenakan toga kelulusan. Sungguh, bukan hal yang wajar untuk dibayangkan. Untukku itu terlalu lucu. Pertama, karena Ari bukanlah orang yang mau dipamer-pamerkan ke orang-orang sebagai pacar gadungan. Kedua, Ari bukanlah tipe orang yang mau berdandan rapi hanya demi kepentinganku, satu hal yang aku anggap sebagai originalitas sejati atau jorok. Yang terakhir, tidak mungkin ia mau menggandeng tanganku. Ia bukanlah orang yang suka dengan sentuhan fisik. “Friends don’t kiss. They hold each other, so no one would ever fall.” Itu adalah moto yang selalu ia pegang untuk hubungan ini.

Ari adalah sahabatku satu-satunya, yang tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk dihabiskan bersamaku. Berbeda dengan sahabat-sahabat wanitaku yang selalu ribut ketika mereka dirundung masalah, Ari adalah laki-laki yang misterius. Aku tidak pernah bertanya padanya mengenai hal-hal yang sedang ia rasakan. Ari adalah orang yang akan bercerita ketika ia mau bercerita. Dan, sampai pada saat ini, ia sudah bercerita lebih dari cukup mengenai apa yang aku ingin dengar.

Ari selalu bercerita bahwa ia sedang jatuh cinta, tapi ia terlalu malas untuk mengejarnya. Mungkin karena prinsip hidupnya yang merasa bahwa jodoh tak ‘kan lari kemana. Satu hal yang membuatku geram dan beranggapan bahwa ia adalah laki-laki pengecut yang takut untuk patah hati. Dan, untuk satu hal itu aku salah.

Ari adalah orang yang mengajarkan aku tentang cinta. Tentang bagaimana hidup ini bisa dilalui dengan mencintai orang yang tak bisa dimiliki. Tentang sakitnya malam minggu sendirian, sehingga ia akan selalu menuliskan status “Available” ketika aku mengajaknya pergi ke cafe ini. Ari mengajari aku bagaimana artinya hidup yang bebas selagi aku masih muda dan tetap bertanggung jawab dengan diri sendiri.

Satu hal yang mungkin membuat aku tidak pernah melepaskan diri darinya adalah kekuatan magis yang ia simpan dalam goresan lukisannya. Sebuah mahakarya sederhana yang aku anggap luar biasa. Sebuah fatamorgana yang bisa membuat aku menitikkan air mata. Sebuah foto hidup akan pengalaman hidupnya yang selalu berisi sebuah cerita yang luar biasa mencenangkan.

Aku selalu jatuh cinta akan lukisan-lukisan itu. Bagaimana ia bisa menyimpan beribu-ribu emosi tanpa pernah bocor di permukaan. Lukisan itu adalah sebuah media yang membuat aku mengerti cerita-cerit yang pernah ia alami.

Dulu, Ari pernah berjanji padaku bahwa ia akan melukisku, di kanvasnya. Lukisannya tentang aku dengan bunga bougenvile, bunga favoritku. Bunga yang berhasil hidup tanpa ada yang memelihara. Bunga yang berekspresi dengan berbagai macam warna yang luar biasa megahnya. Bunga yang aku rasa menunjukkan diriku sepenuhnya. Tetapi, Ari malah tertawa dan melukisku di samping bunga mawar. Ia berkata bahwa aku adalah mawar merah yang anggun, agak berbahaya ketika didekati, kalau tidak hati-hati aku akan tertusuk duri. Namun, aku juga mudah layu dan rapuh, itu sebabnya aku membutuhkan Ari, yang ia nobatkan sendiri menjadi pestisida semua hama-hama penyakit yang menggerogotiku.

Sungguh bukan hal yang aneh lagi ketika pada malam-malam tertentu aku akan menelfonnya, menangis-nangis dengan hebatnya karena patah hati. Ari pasti akan langsung datang, mengajakku untuk pergi ke pantai, mengelus-elus kepalaku bagaikan aku adalah anak anjing yang takut ditinggalkan. Ia tidak akan pernah bertanya walaupun ia sebenarnya merasa bingung mengenai apa yang harus ia lakukan untuk membuatku diam. Ia hanya akan duduk di sampingku, mengelus-elus kepalaku sampai aku gusar, dan kemudian diam bersamaku memandang gulungan ombak dengan lutut kita saling bersentuhan. Hanya dengan cara itu, ia bisa membuatku merasa tenang.

***

Sudah tiga bulan ini aku tidak bertemu dengannya. Mungkin bahkan selama hampir dua tahun terakhir ini aku jarang menghubunginya. Aku terlalu sibuk dengan kuliah paskasarjanaku yang memang menyita waktuku dengan berbagi macam laporan praktikum. Belum lagi, aku juga harus membagi waktuku dengan Mas Tomi, yang saat ini juga sudah mulai membicarakan masalah pernikahan denganku.

Aku sadar kalau sebenarnya hal itu seharusnya bukanlah sebuah halangan bagiku untuk mencoba mencari waktu untuk menghabiskan malam-malam dengan Ari. Tapi, hatiku saja yang tidak sanggup untuk tetap bersama dengan dia. Sebuah perasaan bergejolak selalu menghampiriku ketika aku bersama dia. Perasaan itu membuatku takut, atau mungkin aku malu, karena hanya aku yang merasakannya.

Dan malam ini, aku mengundangnya lagi, di beranda cafe biasa. Dari jauh, aku melihat Ari mulai berlari mendekat, segera aku memesankan minuman kesukaannya. Double espresso. Ditambah almond cookie sebagai cemilannya. Aku duduk dengan cukup tegang, melihatnya tidak berubah. Ari dengan rambut gondrongnya dan baju hitam yang sudah mulai lusuh. Di punggunggnya ia menggendong tas yang biasa ia bawa ketika ia membawa sebuah lukisan. Aku perkirakan, ia pasti sedang ingin memamerkan karya terbarunya.

“Udah lama ya? Sorry ya, daritadi ujan deres. You know, aku nggak punya jas hujan di motorku dan aku nggak mau mahakaryaku rusak.” Celotehnya ketika ia datang.

“Biasa kok nunggu kamu.” Senyumku melihat tingkahnya yang cuek ketika semua mata memandang ke arahnya.

“Wah, jahat kamu! Aku ‘kan sedang dalam proses untuk berubah menjadi orang yang on time. Anyway, I brought something for you.” Ia memamerkan sederetan giginya yang putih bersih. Kurasa walaupun ia terlihat jorok, ia masih rajin gosok gigi.

Ia mengarahkan tasnya padaku. Memintaku untuk membuka tas itu dan melihat lukisan yang ia bawa.

Sebuah lukisan mengenai aku dan dia ketika kami duduk di pinggir pantai dengan lutut-lutut yang bersentuhan. Memandang gulungan ombak dengan latar bunga-bunga bougenvile. Suatu mahakarya yang luar biasa.

Aku bergidik memandang lukisan itu. Setetes air mata menetes dari mataku dan dengan segera aku hapus, takut ia melihatnya.

“That’s me and you. Bougenvile yang tumbuh dengan liar, cocoknya sama gulungan ombak liar kayak aku ini. Right?” serunya sambil tersenyum puas dengan ekspresi yang muncul di wajahku.

“Beautiful.”senyumku kemudian sembari menutup tas penuh undangan pernikahanku yang dari tadi aku bawa.

Comments

  1. wah keren Gita....=)

    #amazed by your work of writings.

    kok aku gbsa follow yak?
    new dashboard design agak menyusahkan..haha

    ReplyDelete
  2. makasih pat ..
    komentarmu means a lot .. jd termotivasi bwt nulis lg . hahaha .
    btw .
    udh bisa follow koo . cm ga nongol ja di template nii . rada pusyiing ..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...