Hari Sabtu itu masih beranjak sore, ketika matahari masih tetap enggan bersinar semenjak tadi pagi. Beberapa pesan masuk ke telepon genggam perempuan itu. Ia, masih dengan matanya yang berat dan dengan kesadaran yang tidak utuh, mencoba untuk melihat nama pengirim yang mengirim pesan tersebut.
Pesan itu hanya menanyakan dimana ia berada saat ini. Namun, yang membuat perempuan itu bangkit dari tidurnya adalah nama pengirim yang terpampang di layar telepon genggamnya. Sebuah nama yang akhir-akhir ini memang cukup membuat hari-harinya lebih berirama.
Segera perempuan itu membalas pesan singkat itu dengan mempersilakan si pengirim pesan datang ke tempat tinggalnya.
Butuh waktu cukup lama bagi perempuan tersebut untuk menyadari apa yang sedang menggerogoti hatinya saat itu. Sebuah perasaan yang luar biasa emosionalnya. Namun, dengan kelelahan dan juga kekhawatiran yang besar.
Tak lama si pengirim pesan datang dan perempuan itu segera mengajak si pengirim kembali menjelajahi kawasan Jogja yang mulai menjelang malam.
Beberapa jam mereka lalui dengan penuh tawa dan banyak kesenangan. Namun, perempuan itu tahu bahwa tubuhnya sedang tidak ingin menjalani malam hari yang berat. Beberapa kali perempuan itu menghela nafas panjang untuk menghilangkan sedikit perasaan sesak di dadanya, yang untuk kesekian kalinya tidak ia ketahui mengapa.
Perempuan itu mencoba untuk mengenyahkan rasa tak menyenangkan itu dan mencoba untuk sedikit menikmati malam yang semakin mendingin dengan si pengirim. Ia merasa nyaman dan merasa tenang berada di samping si pengirim yang selalu bisa membuat awan kelabu di hatinya enyah.
Perempuan itu kini berlari, berlari menembus jalanan Malioboro yang padat. Mencoba untuk berlari mengejar waktu dan tertawa bebas untuk membuat si pengirim sedikit terengah-engah. Dan, ditengah deru nafas mereka yang mulai beradu, semua irama musik yang selama ini ia dengar berhenti. Berganti dengan sebuah alunan lirik yang lirih dan janggal. Menuju ke sebuah pilihan yang tak pernah perempuan itu inginkan.
Sebuah tayangan singkat bermain dalam kepalanya. Berteriak-teriak memanggilnya untuk segera tersadar bahwa ini memang bukan mimpi. Hatinya berontak, namun otaknya tetap menahannya untuk bicara. Memilih untuk mengambil sebuah resiko untuk kehilangan si pengirim yang benar-benar membuat hari terburuknya menjadi sebuah pelangi, atau mengambil sebuah keputusan yang serupa. Keputusan yang pernah ia ambil beberapa tahun yang lalu. Keputusan yang ia tahu akan berakhir dengan malam-malam penuh tangis air mata.
Hari Sabtu itu sudah terasa begitu dingin dan malam sudah semakin larut. Perempuan iu berdiri termanggu. Berjalan dengan kelu. Hatinya berontak, namun otaknya mencegah untuk berbicara. Egonya terlalu bimbang untuk memilih. Perempuan itu hanya termanggu. Diam dan tak bicara.
Pesan itu hanya menanyakan dimana ia berada saat ini. Namun, yang membuat perempuan itu bangkit dari tidurnya adalah nama pengirim yang terpampang di layar telepon genggamnya. Sebuah nama yang akhir-akhir ini memang cukup membuat hari-harinya lebih berirama.
Segera perempuan itu membalas pesan singkat itu dengan mempersilakan si pengirim pesan datang ke tempat tinggalnya.
Butuh waktu cukup lama bagi perempuan tersebut untuk menyadari apa yang sedang menggerogoti hatinya saat itu. Sebuah perasaan yang luar biasa emosionalnya. Namun, dengan kelelahan dan juga kekhawatiran yang besar.
Tak lama si pengirim pesan datang dan perempuan itu segera mengajak si pengirim kembali menjelajahi kawasan Jogja yang mulai menjelang malam.
Beberapa jam mereka lalui dengan penuh tawa dan banyak kesenangan. Namun, perempuan itu tahu bahwa tubuhnya sedang tidak ingin menjalani malam hari yang berat. Beberapa kali perempuan itu menghela nafas panjang untuk menghilangkan sedikit perasaan sesak di dadanya, yang untuk kesekian kalinya tidak ia ketahui mengapa.
Perempuan itu mencoba untuk mengenyahkan rasa tak menyenangkan itu dan mencoba untuk sedikit menikmati malam yang semakin mendingin dengan si pengirim. Ia merasa nyaman dan merasa tenang berada di samping si pengirim yang selalu bisa membuat awan kelabu di hatinya enyah.
Perempuan itu kini berlari, berlari menembus jalanan Malioboro yang padat. Mencoba untuk berlari mengejar waktu dan tertawa bebas untuk membuat si pengirim sedikit terengah-engah. Dan, ditengah deru nafas mereka yang mulai beradu, semua irama musik yang selama ini ia dengar berhenti. Berganti dengan sebuah alunan lirik yang lirih dan janggal. Menuju ke sebuah pilihan yang tak pernah perempuan itu inginkan.
Sebuah tayangan singkat bermain dalam kepalanya. Berteriak-teriak memanggilnya untuk segera tersadar bahwa ini memang bukan mimpi. Hatinya berontak, namun otaknya tetap menahannya untuk bicara. Memilih untuk mengambil sebuah resiko untuk kehilangan si pengirim yang benar-benar membuat hari terburuknya menjadi sebuah pelangi, atau mengambil sebuah keputusan yang serupa. Keputusan yang pernah ia ambil beberapa tahun yang lalu. Keputusan yang ia tahu akan berakhir dengan malam-malam penuh tangis air mata.
Hari Sabtu itu sudah terasa begitu dingin dan malam sudah semakin larut. Perempuan iu berdiri termanggu. Berjalan dengan kelu. Hatinya berontak, namun otaknya mencegah untuk berbicara. Egonya terlalu bimbang untuk memilih. Perempuan itu hanya termanggu. Diam dan tak bicara.
Comments
Post a Comment