Skip to main content

keluh kesah di suatu petang

Lagi dan lagi saya terdiam di depan laptop saya. Saya kembali memutar otak saya yang sebenarnya sudah cukup nge-hang untuk kembali bekerja. Saya benar-benar tidak habis pikir, mengapa di depan mata saya masih ada selembar halaman kosong Microsoft Word yang tidak saya utak atik. Saya cuma melamun dan termanggu di balik pijaran lampu tempat makan ini.

Saya tahu kalau saya seharusnya menyelesaikan tugas ini beberapa hari yang lalu saat otak saya masih segar dan tidak memiliki keinginan untuk berganti haluan. Tapi, ya sudahlah, terima atau tidak, saya harus menyelesaikannya saat ini.

Apa yang membuat saya resah adalah saya harus memilih topik untuk kuliah seminar saya yang notabene saya ambil terlalu cepat. Jujur, saya sempat berpikir apakah langkah saya untuk mengambil mata kuliah tersebut terlampau nekat dan tergesa-gesa. Tapi, saya terlanjur merajut harapan saya setinggi langit dan berharap kalau di awal tahun depan saya sudah bisa menyelesaikan skripsi saya.

Lalu saya ter-pause sekian saat dan bertanya pada diri saya sendiri,
"Memangnya untuk apa ya?"

Apakah keinginan saya untuk mengambil mata kuliah ini dengan cepat memang merupakan suatu bentuk kesanggupan saya atau hanya sebuah pertanggungjawaban ego saya atas hati saya yang telah terlanjur berani bermimpi. Bukannya saya mau bilang kalau saya tidak sanggup, karena saya tahu saya sanggup. Namun, yang selalu bergema di pikirn saya adalah, "Untuk apa saya begitu terburu-buru?".

Ada sebuah perasaan cukup egois dan harga diri yang cukup tinggi untuk dapat membuktikan kalau saya hebat dan saya bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu cepat dan dengan hasil yang tentunya tidak mengecewakan. Atau, saya sudah muak dengan kota tempat saya tinggali ini dan ingin segera meninggalkan semua yang menyakiti saya disini. Atau, saya ingin membuktikan pada orang banyak kalau saya bisa menjadi orang yang sangat membanggakan dan mampu mendapat gelar di belakang nama saya dan kemudian pergi meninggalkan negara ini. Atau, saya tahu kalau orang yang saya cintai akan meninggalkan tempat ini dan saya tidak mau terlalu lama berpisah dari dia sehingga saya bisa segera menyusulnya.

Kemudian saya kembali bertanya-tanya ..
"Memangnya saya sekolah untuk apa dan untuk siapa?"

Sudah seharusnya saya sekolah dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan bukan? Dimana nanti hasilnya juga akan saya sendiri yang menuai dan saya tidak perlu mendengar dan melihat apa kata orang tentangnya. Dan, kalau memang saya bersekolah untuk diri saya sendiri, mengapa saya begitu 'terengah-engah'.

Hal ini pun pada akhirnya berimbas pada pilihan-pilihan topik mata kuliah seminar saya yang memang akan saya gunakan sebagai judul skripsi saya. Apakah hal tersebut akan menjadi grand masterpiece saya selama saya menempuh kuliah S1 atau hanya sebagai persyaratan saya untuk lulus dan beralih ke jenjang yang lain.

Any answer anyone?
(-,-)'

Comments

  1. kata Pa Agung, waktu kuliah PSP:
    "skripsimu adalah masterpiece-mu.."
    do the best.
    Jgn sampe karena ingin lulus cepet2, skripsi kita malah "jadi2an"..
    :)
    semangat Gita.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

A new perspective

Someone once told me that there is nothing wrong with changes. He said that it would give me new perspective. He said, with me being away, it would makes me appreciate the thing that I had before. And yes, sure, Lately, I have been feeling it to be true. To be away with the things that I used to hold on - makes me realize that I have been spoiled. And now, I need to learn how to survive. To learn how to be brave again. And, sometimes, inevitably -- learning how to be OK with the sound of nothingness. Of course, once in a while, I envy those people who are still surrounded by luxury things. Obviously, I would constantly complain about the absence of my old routine. And, also sometimes, I would try to run away -- find the best escape route, just to get rid of the pain. How I hate changes. I wish some things were just stay the same -- forever. But then, I won't ever learn how to fly higher. I won't grow. But then, I also kind of asking my self, ... do I real...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

Mimpi saya untuk mereka - penolong skripsi saya!

Beberapa hari belakangan ini, saya jadi teringat komentar teman-teman atau orang-orang yang bertanya tentang tugas akhir saya. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat klise dan bisa saya jawab apa adanya. Karena penelitian saya berhubungan dengan orang Tunarungu, dan ternyata pas nya lagi, di try out saya yang (Alhamdulilah) ke-tiga kalinya, saya diminta untuk ganti metode sama dosen pembimbing saya. Pada awalnya, cara saya mengambil data adalah dengan metode survei dengan mengisi skala/kuestioner, lalu, karena data saya tak kunjung valid, dosen pembimbing saya yang pantang menyerah dengan penelitian saya, mengusulkan saya untuk mengambil metode wawancara untuk mengambil data. http://maxcdn.fooyoh.com Pertanyaannya adalah: "Bagaimana cara mewawancara mereka?" Pertanyaan itu sering sekali ditanyakan oleh orang-orang yang tahu mengenai seluk-beluk skripsi saya. Ada yang keheranan, ada yang merasa itu cukup mustahil, ada yang merasa saya ini becanda, atau bahkan a...