Skip to main content

Getting one year older : 21 years old !


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berkata pada beberapa orang terdekat saya, bahwa saya nggak mau merayakan ulang tahun saya tahun ini. Ada ketakutan tersendiri di dalam diri saya bahwa dengan bertambahnya usia saya, saya akan dengan langsung bertambah menuju satu level pendewasan yang lebih tinggi.

Well, banyak orang percaya kalau menjadi tua adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari, sedangkan untuk menjadi dewasa adalah pilihan. Dulu, saya termasuk orang yang percaya akan hal tersebut. Namun, ternyata pembicaraan saya dengan sahabat saya beberapa waktu yang lalu membuat saya tersadar kalau sebenarnya dewasa tidak lagi menjadi sebuah pilihan, tetapi adalah suatu kepastian yang pasti akan saya jalani, namun, pilihan waktunya memang saya yang akan menentukannya. Dan, hal tersebut bukan berarti saya menunda untuk menjadi dewasa, tetapi saya menunda kesadaran saya bahwa sudah seharusnya saya menjadi dewasa.

Terkadang, saya merasa kalau pikiran saya sudah jauh melampaui orang-orang seusia saya. Termasuk di dalamnya adalah harapan-harapan saya dan visi-visi saya yang menantang jauh ke depan. Namun, sekali lagi, karena saya terlalu takut untuk melangkah atau lebih tepatnya saya takut kalau nanti saya gagal, saya akhirnya mengurungkan semuanya dan mencoba untuk tetap menjadi kanak-kanak.

Dan, akhirnya, saya sampai pada sebuah pertanyaan.

Mau sampai kapan saya berhenti berharap dan tidak pernah kembali berjalan?

Hal itu akhirnya bisa terjawab pada saat pergantian usia saya, dari tahun 20 menuju ke usia yang baru, dua puluh satu!

Malam itu saya tahu kalau Gembul (pacar saya) akan datang menuju tempat saya dan memberikan saya sedikit kejutan. Tapi, apa yang sudah ia perbuat jauh melebihi semua ekspektasi saya. Tentu saja ada kue ulang tahun, balon, dan lilin. Namun, semuanya jauh terlihat biasa dibandingkan apa yang ia berikan di malam itu.

Hari itu ia meminta izin dari ibu saya untuk mengajak saya keluar selama kurang lebih 2 jam. Saya dibawa menuju sebuah tempat nonton (bukan bioskop) dan disana saya disuguhi oleh sebuah sajian yang membuat mata saya berlinang air mata.

Sebuah film yang didedikasikan untuk saya. Dengan cara yang sangat sederhana dan apa adanya. Namun, yang membuat saya terharu adalah betapa ia bisa berjuang keras untuk membuat saya percaya bahwa ada orang lain di luar sana yang percaya bahwa saya bisa mendapatkan semua impian saya dari yang paling sederhana hingga yang paling mustahil.

Saya diajak untuk melihat bahwa masih ada orang di luar sana yang mau mencoba untuk tahu tentang saya dan peduli dengan mimpi-mimpi saya. Harapan mereka, doa mereka, yang disadur dari teks yang sudah pacar saya buat, tetap terdengar tulus di telinga saya. Mereka, yang tidak kenal saya saja berani untuk mengajak saya keluar dari zona nyaman saya dan mulai berlari mengejar harapan saya. Tentu saja sudah seharusnya saya juga menuruti kata hati saya untuk mulai kembali berlari.

Saya tersadar bahwa sudah seharusnya saya kembali bangun dan kembali merangkaikan mimpi-mimpi yang sudah lama saya tidurkan. Mencoba untuk mengambil kembali mimpi-mimpi yang saya titipkan pada sahabat-sahabat saya. Merancang sebuah hidup dengan menggunakan kalkulator dalam menghitung target pencapaian mimpi saya. Sudah seharusnya saya bangkit. Dan, saya tidak perlu takut untuk menjadi dewasa, karena memang saya sudah harus menjadi dewasa dalam beberapa hal.

Malam itu, ada sebuah tirai hitam yang akhirnya bisa saya singkirkan dari mata saya.

Malam itu, saya mulai mencoba untuk kembali berani terjatuh dan menggunakan perban-perban apabila saya terluka. Karena saya tahu, teman-teman saya juga akan tetap berada di sekitar saya.

Bagaimana saya bisa yakin?

Karena dibalik ketidakpedulian mereka yang mereka tunjukkan, saya tahu ada sebuah kasih sayang yang besar dan perhatian yang tidak terkira yang mereka berikan sama saya.

Hari ulang tahun ini, saya mendapat banyak pelukan dan ciuman dari orang-orang yang saya sayangi, hadiah yang sangat indah, ‘penyiksaan’ ulang tahun yang menjadi sebuah tradisi, perhatian yang tiada tara, dan sebuah cambukan untuk kembali berani bermimpi.

Berani bermimpi, berani mengejarnya, dan tidak kembali takut untuk menyadari realita.

Tahun 2011 ini, saya memasuki usia 21 tahun. Saya baru berusia 21 tahun. Dan, saya siap untuk kembali menghadapi dunia. Memenuhinya dengan penuh mimpi yang pasti akan saya gapai. Dan sisanya? Membuat orang-orang yang saya sayangi bahagia!

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...