Skip to main content

gelap

Malam ini, saya mendapati sebuah fakta yang cukup menarik. Ketika saya pulang ke kost saya menjelang jam 10 malam, ternyata lingkungan di sekitar kost saya mati lampu, dan tentunya tidak terkecuali kost saya yang akhirnya menjadi gelap gulita.

Sewaktu saya masuk ke dalam, saya mendapati beberapa teman kost saya berkumpul di salah satu kamar di samping kamar saya yang ada emergency light-nya. Dan, saya hanya menyapa mereka dengan ala kadarnya karena memang tidak tertarik untuk bergabung, mengingat bantal guling saya terasa lebih 'mengundang'. Namun, yang tiba-tiba terlintas di pikiran saya adalah 'apakah mereka berkumpul bersama-sama dalam malam ini karena takut akan gelap?'.

Well, mungkin mereka berkumpul bukan karena mereka takut akan gelap, tapi pikiran tersebut cukup membuat saya teringat beberapa orang yang saya tahu takut akan gelap. Untuk saya sendiri, saya jauh lebih memilih untuk tidur di tempat yang gelap gulita daripada terang benderang.

Mungkin, banyak orang sering mengkonotasikan kegelapan dengan hal-hal yang negatif. Entah itu dengan sesuatu yang mengerikan seperti hantu, atau sesuatu yang akan menyesatkan. Semua itu entah bagaimana prosesnya membuat banyak orang akhirnya percaya bahwa gelap itu bukanlah hal yang baik.

Namun, benarkah itu?

Bukankah jika gelap itu tidak ada, kita tidak akan mengetahui terang? Tentu kita tidak akan bersyukur akan adanya matahari yang sanggup bersinar sedemikian dasyatnya apabila malam tidak pernah datang. Dan, tentunya kita tidak akan sadar akan indahnya dunia ketika terang itu datang.

Kalau malam tidak menjadi gelap, tentunya bintang-bintang tidak akan kita anggap indah dan bulan tentunya bukan menjadi hal yang penting dan romantis. Kalau gelap tidak ada, tidak ada lagi yang namanya candle light dinner karena tidak perlu cahaya lilin untuk menerangi. Atau, tidak perlu lagi dinyalakan lampion ataupun kembang api yang tentunya akan menjadi sia-sia apabila langit selalu cerah dan terang.

Jadi, menurut saya, bukankah baik apabila kita menghargai bahwa semua itu ada untuk suatu menu kehidupan yang kita sebut dengan 'keseimbangan'? Bahwa sebenarnya gelap itu ada bukanlah untuk ditakuti tetapi sebagai sebuah reminder bagi kita untuk bersyukur akan hal-hal yang terjadi sebaliknya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...