Skip to main content

bioskop + no Hollywood = no hope ?


Beberapa waktu belakangan ini ada sebuah berita yang cukup membuat saya terkejut setengah mati dan membuat saya cukup jengkel sampai saya ingin melempar asbak ke muka orang. Berita itu saya yakin juga sudah terdengar sampai ke seluruh penjuru Indonesia. Berita mengenai kenaikan pajak impor barang, dalam kasus ini lebih spesifiknya adalah mengenai film-film impor atau kebanyakan film-film Hollywood yang akhirnya mengakibatkan MPA (asosiasi produsen film Amerika) mulai menarik film-filmnya untuk beredar di Indonesia semenjak tanggal 17 Februari 2011.

Hal yang membuat saya merasa sangat heran mengenai masalah ini adalah mengenai alasan dirjen pajak dalam menaikkan pajak tersebut. Saya sempat mendengar beberapa perbincangan di televisi mengenai hal tersebut dimana salah satu alasan dirjen pajak membuat kebijakan baru tersebut adalah untuk mendorong produksi perfilman Indonesia. Sehingga, diharapkan film Indonesia bisa diproduksi lebih banyak dan orang Indonesia lebih banyak menonton hasil karya lokal.

Sepintas, tidak ada yang salah dengan alasan tersebut. Tetapi satu hal yang sebenarnya cukup membuat saya bingung adalah mengapa pemerintah begitu repot mengurusi perfilman Indonesia sedangkan di sisi lain PR pemerintah masih sangat banyak. Lalu, uang pajak yang sedemikian besarnya mau digunakan untuk apa? Bukankah jauh lebih jelas apabila pemerintah langsung berkata bahwa mereka memang membutuhkan pemasukan lebih untuk APBN?

Selain itu, darimana pemerintah bisa yakin kalau dengan adanya penarikan film-film asing, produser film Indonesia akan membuat film dengan lebih banyak dan dengan mutu lebih baik?

Well .. kalau ada orang yang kemudian menyalahkan masyarakat Indonesia karena terlalu bergantung dengan film-film asing terutama film Hollywood semenjak kecil ya seharusnya kita juga menyadari kalau kualitas film Indonesia masih ketinggalan dibandingkan dengan film Hollywood. Dan tentu saja hal ini sudah kita ketahui semenjak lama, dan kalau memang ingin memperbaiki mutu film Indonesia, apa iya harus dengan seperti ini caranya? Bahkan saya sempat mendengar kalau produser film Indonesia pun juga seringkali terlilit biaya pajak yang cukup rumit dan banyak. Jadi sebenarnya alasan yang pemerintah berikan sangat tidak masuk akal bukan?

Selain itu, sudah harus kita akui juga kalau film Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan film Hollywood terutama dari segi isi ceritanya yang terkesan hanya asal jadi saja. Apakah iya generasi muda kita ke depan hanya akan diminta untuk menyaksikan tontonan tidak bermutu dan tidak bernilai edukasi?

Nah, apabila pada akhirnya MPA mengalah dan tetap mendistribusikan film Hollywood ke Indonesia, tentu saja beban pajak pada akhirnya akan ditanggungkan pada konsumen. Kalau biasanya bioskop menjadi salah satu tempat hiburan yang cukup murah dan disukai oleh konsumen, pada akhirnya harga tiket untuk menonton di bioskop pun akan naik dan tidak murah lagi. Imbasnya, konsumen menjadi enggan untuk menonton di bioskop dan bioskop akan menjadi sepi. Dan efeknya adalah konsumen tidak akan menonton di bioskop baik itu film Hollywood ataupun fiilm Indonesia, penghasilan bioskop menurun, dan akhirnya bioskop merugi sehingga harus mengurangi karyawan bioskop dan berarti memutus mata pencaharian banyak karyawan.

Yah, tulisan ini saya buat bukan untuk memojokkan pihak-pihak tertentu, tapi saya hanya masih belum mengerti pentingnya kenaikan pajak tersebut yang memang berimbas pada banyak sektor. Terutama untuk saya, sebagai konsumen, yang masih haus akan tontonan bermutu dan edukatif.

Jadi, kalau memang pemerintah membutuhkan pemasukan tambahan untuk APBN, ya nggak usah mengarang-ngarang alasan yang akhirnya malah membuat mereka terlihat lebih konyol.

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...