Masih melihat detikan jarum jam yang juga tiada berhenti. Melamun, memikirkan apa yang baru saja ia lihat. Lama ia terdiam, sampai akhirnya dia terbangkit dari tempat tidurnya dan mulai berjalan ke arah jam dinding di hadapannya. Lama ia amati kembali detik-detik yang berlalu.
Berisik!
Pikirnya.
Berjam-jam sudah ia nantikan agar detikan itu berhenti bergerak dan memecah keheningan yang biasa meninabobokannya dalam senandung malam. Larut malam sudah ia berharap pada suatu mukjizat agar seseorang memberinya senapan untuk menembak jam tersebut.
Berisik !
Teriaknya lagi, dalam hati.
Bosan ia pandangi jam itu, kembali lagi ia merebahkan dirinya dalam tempat tidur.
Berisik !
Umpatnya kali ini.
Belum bisa rupanya ia terlelap dengan detik-detik yang berlalu itu. Belum terbiasa rupanya telinganya untuk merasa nyaman dengan detik-detik pemecah ketenangan itu.
Ia kembali bangun, mancari kayu atau batu untuk ia lemparkan ke arah jam dinding itu. Tapi, kamar itu kosong dan yang tersisa hanya dirinya, tempat tidur, dan jam dinding itu. Tanpa membuang detik-detik yang lain lebih banyak, ia hempaskan dirinya ke arah jam dinding itu.
Tidak pecah.
Berisik !
Makinya kali ini.
Sudah habis kesabarannya. Dan dengan membabi buta ia hempaskan badannya yang sudah tersisa kulit dan tulang itu berkali-kali ke arah jam dinding tersebut. Sampai ia lelah. Sampai ia merasa sakit dan kemudia jatuh tertidur bersandarkan dinding.
Namun, jam dinding itu masih utuh. Dan berdetak dalam tubuhnya sendiri.
Berisik !
Bisiknya dalam tidur pada jam dinding yang hanya berupa denyut-denyut nadi dan jantung tubuhnya.
Comments
Post a Comment