Skip to main content

sebelum mimpi itu indah




Pagi ini, matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinarnya. Sungguh, aku masih ingin sedikit menikmati nikmatnya kasur ini. Tapi, sepertinya orang-orang di luar sana sudah sangat bersemangat untuk menyambut hari yang ditunggu-tunggu ini.

"Nak, udah bangun kan? Sholat dulu ya. Abis itu langsung mandi." teriak salah satu suara di luar sana.

"Ehm ... eh?" aku yang masih terkejut diantara ambang kesadaranku mulai mengerjap-ngerjapkan mata. Yah, sudah saatnya untuk bangun sepertinya.

"Udah bangun belom sih?" tiba-tiba kepala mungil muncul dari balik pintu kamarku.

"Udah dek, sana pergi." dengan sebal aku menjawab pertanyaan itu. Sungguh menyebalkan. Bertahun-tahun hidup bersama mereka, apa masih belum hafal ya kalau aku itu benci banget diteriakin kalo pagi-pagi begini?

Aku segera bangkit dari nyamannya tempat tidurku. Mengambil air wudhu dan mulai menunaikan kewajibanku pada Sang Pencipta. Rasanya aneh. Aku seperti sedang setengah melayang. Mungkin kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya. Rasanya gamang.

Kuselesaikan ibadahku dengan cukup cepat, entah kenapa aku merasa belum ingin berbicara dengan-Nya. Toh, untukku, ia pasti tahu apa yang aku rasakan. Aku hanya sedang merasa bimbang.

"Nduk, itu Mas Heri udah datang lowh. Kan ngedandanin kamu lama, jadi kamu yang duluan ya. Nanti Bunda sama Nenek dirias sama asistennya aja." nenekku menyapaku yang baru saja keluar dari kamar.

"Nek, baru jam 5 ini!" aku merengut sambil meneguk segelas susu coklat yang sudah disiapkan seperti biasa.

"Emangnya kamu kira ngerias kamu itu cepet. Sana buruan, si Mas Heri udah nguap-nguap di depan. Bawa masuk kamar aja." tiba-tiba Bunda datang dan langsung bercuap-cuap seperti biasa.

"Eh, pamali atuh bawa laki-laki ke dalam kamar. Kan nanti Sari mau diminta orang." Nenek mulai was-was menanggapi ucapan Bunda.

"Nggak apa-apa, Nek. Mas Heri kan ....." aku tidka melanjutkan ucapanku tapi malah tertawa.

"Hus! Jangan gitu, nanti orangnya denger. Udah sana cepet panggil Mas Heri-nya. Nanti Buda bawain nasi goreng ke kamar."

Luar biasa hari itu. Bukannya aku ya yang seharusnya menjadi 'Nyonya Besar' hari itu? Malah gantian aku yang menjadi upik abu disuruh-suruh. Walaupun cuma disuruh duduk manis dan didandani dengan cantik.


***

"Nah, udah deh. Cantik banget deh ini si eneng." Mas Heri memulai pujian-pujian gombalnya.

"Duh, andaikan Mas bisa dandan begini ya." lanjutnya lagi sambil terkekeh sendiri.

"Ya udah, kan nanti kalo mau Mas bisa dandan sendiri. Wong jago gini..." aku cukup terpana memandang diriku di cermin. "..cantiknya aku. Hahahahahaha!" aku tertawa dengan lebar.

"Heh! Kalau mau kawin tuh harus behave dikit." tiba-tiba sesosok manusia lain hadir di ruangan itu.

"Ealah ... itu si kasep kok masuk kamar Sari." Nenek mulai berteriak-teriak dari luar.

"Nggak apa-apa, dia homo kok." aku membalas teriakkannya.

"Enak aja lu bilang gue homo! Toyor dah!"

"Ampun bang!" aku tertawa. Senang rasanya ia disini.

"Gue mau ngasih kado buat lu nih. Pre-wedding gift." katanya sambil mengulurkan sebuah kotak mungil berwarna pastel.

"Apa nih, Fer?"

"Just open it. I hope you like it. Gue cukup bingung mau ngasih apa ke elo." sahutnya canggung.

Aku membuka kotak itu perlahan-lahan. Hadiah pernikahan dari Ferri. Sahabat terlamaku. Ternyata isinya adalah sekumpulan kelopak mawar putih dan sebuah kotak musik yang berisi dua orang bergandeng tangan di samping tulisan 'Best Friend Forever'.

"Pleaaassseeee , jangan bilang itu gay baget. Gue udah bela-belain bolos gereja pagi demi dateng kesini dulu nih buat ngasih itu."

"Sweet banget hunii!" aku mengecup pipinya dan memainkan kotak musik itu di tanganku.

Ada keheningan tiba-tiba yang terjalin di antara aku dan Ferri saat itu. Entah. Mungkin aku saja yang terlalu asik memainkan kotak musikku yang baru itu.

"Akad nikahnya di halaman belakang ya?" tanyanya kemudian.

"Iya. Dekorasinya bagus nggak? Aku lowh yang desain sendiri." aku menyahut dengan bangga.

"Nothing more beautiful than you are today."

"...."

"Akh, loe sih cantik banget pake kebaya itu. Gue jadi salting. Sial lu." sahutnya kikuk.

"Gue emang dari dulunya cantik. Lu aja yang nggak nyadar-nyadar."

"Gue sadar kali, Sar. Gue juga sadar kalo gue sayang banget sama lu." suaranya terdengar sangat lirih. Bahkan mungkin seperti sedang berbisik.

"Heh?"

"Have you ever feel anything about me? Selain menganggap aku sebagai teman kamu?" tanyanya.

Lama aku terdiam.

Aku mengangguk.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang?" ia menarik tubuhku condong ke arahnya.

"Karena setiap kali aku ngerasain itu, kamu selalu cerita tentang cewek lain. Lu tuh ... Duh, lu selalu gonta-ganti cewek dan selalu curhat tentang mereka ke gue. Ya, gue pikir gue aja yang bodoh kalo bisa jatuh cinta sama lu." aku menjawabnya secara membabi buta.

Ada keheningan yang kembali menghantui.

"If you really love me, why didn't you say it?" aku yang kembali bertanya.

"Kita sangat mengenal satu sama lain. Ini adalah the best wedding yang kamu impi-impikan. Bukan di Katedral atau Gereja lain seperti yang aku mau. I mean ... " ia kembali diam.

"Apa, Fer?"

"Maksudku, untuk apa menjalin sebuah hubungan kalau kita sudah tahu bagaimana endingnya." ia menjawab sambil tertunduk.

Mataku panas. Ada sebuah gejolak besar yang rasanya ingin aku muntahkan keluar. Sebuah pernyataan yang tertunda yang akhirnya terucap. Sebuah jawaban dari semua pertanyaan yang terangkai selama bertahun-tahun. Semua yang aku harapkan tapi tak pernah ingin aku dengarkan. Dan, air mataku meluap.

"Nduk, udah siap. Keluarga calonmu udah datang tuh." tiba-tiba Bunda masuk ke dalam kamar.

"Hei, kenapa ini kok nangis-nangis segala?" Bunda menghampiriku dengan cemas.

"Takut malam pertama tuh, Tante." Ferri menjawab sambil bercanda.

"Bukan. Cuma nggak mau ninggalin Bunda, Ayah, Nenek, sama Fanya. Mau disini terus." aku mencari alasan lain sambil memeluk Bunda. Bunda tidak perlu tahu.

"Udah, udah, kan nanti Kak Sari boleh datang kesini. Kamarnya juga nggak akan diganti. Udah ya .. cup..cup .. anak Bunda..." Bunda membalas pelukanku.

"Udah yuk, kita keluar. Semua udah pada datang." Bunda mengajakku untuk berjalan keluar. Menuju ke pelaminan. Tempatku menuai semua mimpi-mimpi yang kutanam semenjak kecil.

Sebelum sampai di pelaminan, aku masih mencoba menoleh dan mencarinya,
"Sanggup kah kamu melepaskanku?" aku bertanya dalam hening.

Ia hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya. Aku membalas senyuman itu dan duduk di samping calon suamiku yang sudah menunggu kedatanganku dengan sabar.


Sepintas aku menoleh dan melihat, setitik air mata menetes dari ujung matanya.

Comments

Popular posts from this blog

a new beginning of friday night

finally . gw memulai resolusi tahun baru gw dengan lebih awal . yeph . gw berencana untuk kembali menulis lagi taun depan. 'moga-moga beneran bisa berjalan lancar' (cross finger!) yah . akhirnya di jumat malem ini, gw tiba-tiba dapet smangat baru . so here i am . at momento cafe with my boy, and other boy friends gw mulai sign up lg buat blog baru dgn harapan gw bisa kembali menjelajahi sisi terdalam gw buat nulis. whatever it sound . hehehe . smangad banget hr ni, padahal sebenernya gw capek bgt . blom da ksempatan bwat plg . blom ada waktu bwat tidur siang . 'haha. realii a keboo!' tapi senenk bgt drtd ngomongin masa-masa depan gw yg bakal gw laluin dengan hectic . weird?! yeph. karena gw lbh suka sibuk dibanding gw harus terpuruk dalam kesendirian dan ke-non-gawean . it drives me nuts ! so . one of the dream for next year . one project . masdha carnival 'bangkit dan bersuara' haha ! smoga sukses kawan-kawan . ayo kita bangkit dan bersuara bersama . it's ...

malem minggu kutemukan sebuah tempat enak di jogja

one important note : saia sedang tidak promosi tempat . so, here i am . at 8 :56 p.m at Coffee Break on Jakal. wirh two of my BFF and my lovely ridiculous boyfriend. (he is such a mess, love him so, though. hehehe.) tempatnya enak banget, another cozzy place yg pasti bakal gw sering datengin. nothing special sih. just an ordinary coffee shop. tapi sofa-sofa besarnya, tempatnya yang dingin and cozzy, plus ditambah banyak buku-buku dengan penerangan yang cukup untuk membaca dan belajar pastinya. membuat gw teringat dengan kofie pot , bogor. membuat gw teringat dengan sohib gw yg sekarang dah gag pernah menengok gw lagi. membuat gw teringat jaman-jaman SMA yang bolos sekolahnya ke cafe. membuat gw pengen sendirian disini dan menikmati kesunyian. hahaha. tapi, walopun gw gag sendirian malem ini, gw senenk karena gw ditemenin orang-orang tersayank di malam minggu. ngebuat gw gag merasa sepi dan gag terkurung di ruangan 2x3 itu terus (baca : kamar kost). dan entah bagaimana, tiba-tiba kebia...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...