Skip to main content

akhirnya, aku yang pergi ...


Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat.

Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol.

Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya.

Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini ..

Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. Aku masih bergaya polos, dengan kepang dua khas perploncoan mahasiswa baru. Rian adalah orang yang paling senang menggodaku ketika itu. Satu hal yang akhirnya membuatku jatuh cinta pada seorang mahasiswa arsitek senior yang berhasil lulus dengan nilai cum laude.

Aku memang bukan bunga kampus pada saat itu. Tapi Rian, sungguh luar biasa. Entah bagaimana ternyata ia bisa jatuh cinta pada bunga liar sepertiku. Yah, itu adalah gambarannya tentang diriku, yang ia akui sebagai sebuah ide awal dari tugas akhirnya yang luar biasa menakjubkan. Sungguh, sebagai mahasiswi design interior , karyanya cukup membuat aku takjub setengah mati.

Mati-matian aku mengejarnya. Aku dengan otakku yang pas-pasan. Mencoba untuk mengejar kelulusan dengan cepat. Mengejar Rian yang sudah 2 tahun mendahuluiku dan pindah ke ibu kota. Disana banyak peluang, katanya. Walau, menurutku bayanganku, sudah terlalu banyak gedung-gedung pencakar langit disana. Tapi, ia bersikeras dan memintaku untuk mendoakannya.

Selama 2 tahun setelahnya, hidup bagai sebagai di neraka. Hanya suara Rian di telpon yang bisa membuatku bertahan. Sungguh, aku merasa menyesal duduk di bangku perkuliahan itu. Namun, dengan tekad sebulat baja dan dengan kekuatan cinta penuh, aku berusaha untuk melaluinya. Hingga hari kelulusan pun tiba.

Rian berjanji akan datang untuk menemani hari wisudaku. Tapi hingga tengah malam, ia tak juga menunjukkan keberadaannya. Dan, itu adalah hari dimana semua akhirnya berubah.

Ketika aku sudah keluar dari kota bunga itu, Rian mengajakku tinggal bersamanya di Jakarta, di rumahnya. Rumah yang ternyata berhasil ia desain sendiri dan dibangun dengan jeri payahnya sendiri selama 2 tahun itu. Dengan bantuan orangtuanya, tentunya. Aku menolak dan mengajaknya untuk bersabar.

Hari-hari di Jakarta terasa begitu mencekik. Rian tidak lagi punya waktu. Rian tidak lagi punya aku. Rian tidak pernah memiliki orang lain, hanya aku wanita satu-satunya di hidupnya setelah ibu dan kakak perempuannya. Akan tetapi, semua berubah.

Rian selalu bilang, "This is the real world. Face it. Grow up."

Aku sudah berusaha untuk bangun. Untuk berpikir secara dewasa. Untuk menyembangi Rian. Tapi, itu selalu tidak pernah cukup untuknya.

Teman-teman laki-lakinya, gadget canggih di rumahnya, dan pekerjaan pentingya, jauh lebih menarik untuknya dibandingkan harus menghabiskan waktu denganku.

Setiap malam ia akan mengirim pesan singkat ke ponselku dan mengatakan bahwa ia merindukanku, tapi tak sedetikpun pernah ia coba untuk mendahulukanku diatas kesenangannya.

Dan hari ini ...

Aku memasuki kamar tidurnya. Melihatnya sedang tidur nyenyak dengan Brownie, anjing Golden Retriever yang aku hadiahkan untuk ulangtahunnya beberapa bulan yang lalu.

Rian terbangun ketika aku mendekati tempat tidurnya,
"Sayang, ngapain dateng pagi-pagi?"

Dengan tersenyum aku menjawab bahwa hari ini adalah hari Minggu, dan mengingatkannya akan janji yang ia sebutkan minggu lalu.

"Oh dear, kamu nggak liat kalo aku capek banget? We can have some time later, key. Aku ngantuk banget, semalem kalah 5-0 sama anak-anak tuh."

Aku tersenyum. Mengambil tas tanganku. Berjalan menuju keluar rumah itu.

Aku tak mau terus begini. Walaupun ini berat dan aku mungkin tidak akan pernah melupakannya. Tapi, aku tau, aku yang harus pergi...

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

a new beginning of friday night

finally . gw memulai resolusi tahun baru gw dengan lebih awal . yeph . gw berencana untuk kembali menulis lagi taun depan. 'moga-moga beneran bisa berjalan lancar' (cross finger!) yah . akhirnya di jumat malem ini, gw tiba-tiba dapet smangat baru . so here i am . at momento cafe with my boy, and other boy friends gw mulai sign up lg buat blog baru dgn harapan gw bisa kembali menjelajahi sisi terdalam gw buat nulis. whatever it sound . hehehe . smangad banget hr ni, padahal sebenernya gw capek bgt . blom da ksempatan bwat plg . blom ada waktu bwat tidur siang . 'haha. realii a keboo!' tapi senenk bgt drtd ngomongin masa-masa depan gw yg bakal gw laluin dengan hectic . weird?! yeph. karena gw lbh suka sibuk dibanding gw harus terpuruk dalam kesendirian dan ke-non-gawean . it drives me nuts ! so . one of the dream for next year . one project . masdha carnival 'bangkit dan bersuara' haha ! smoga sukses kawan-kawan . ayo kita bangkit dan bersuara bersama . it's ...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...

Going to China - Shenyang & Changchun

29 Desember 2013 & 30 Desember 2013 Kamis sampai di kota Shenyang. Ada 2 tempat besar yang kami kunjungi, pertama adalah the Imperial Palace dan keesokannya kami mengunjungi the North Tomb. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa terdapat dua istana di China. Yang pertama jelas yang paling besar di Beijing, yaitu the Forbidden City. Tetapi, ternyata di kota Shenyang itu sendiri ada juga istana yang hanya dipakai oleh dua raja, yang mana saya lupa, dan memang lebih kecil dibandingkan yang ada di Beijing. Walau demikian, menurut local guide kami, kurang lebih bentuk dari istana tersebut mirip. Di kota Shenyang, juga terdapat makam raja, seperti di Imogiri begitu. Sayangnya, kami hanya dapat masuk ke bagian-bagian luarnya saja dan tidak pernah melihat bentuk dari makamnya seperti apa. But still, the architecture and the building are great! Setelah itu, pada siang harinya, kami berangkat lagi menuju kota selanjutnya, yakni Changchun. 31 Desember 2013 Kami berjalan...