Skip to main content

My RainMan


Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku.


Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku.

Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men-judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti.

"Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku.

"Nggak lha! Aku nggak cemen kayak kamu yang hobinya ber-wind enterance?" candanya sambil menyerobot teh panas yang daritadi sudah kupersiapkan untuk diriku sendiri.

"Masuk angin maksud kamu?"

"Apalagi nona?" dia mengembalikan cangkir kosong ke tanganku, "Yuk cabut. Nanti malam abang mau main di Cafe de Lekker." ia menyeringai.

"Akhirnya, hobi kamu itu menghasilkan ya. Oke, naik mobilku aja. Ogah naik angkot ujan begini."

"Selama nona mau nyetir sih no problemo!"

Satu hal yang selalu sama dari dirinya. Ia selalu memanggilku nona untuk alasan yang entah apa. Membuatku terkadang risih tetapi tidak bisa lagi aku rubah. Rainman ini adalah pria hujanku yang mempunyai jari-jari magis yang bisa membuat semua orang terpukau ketika menari-nari di atas tuts piano. Satu hal yang membuatnya tidak pernah membuatnya berhasil adalah ketidakseriusannya dalam menjalani hobinya itu. Menurutnya aturan, perjanjian, disiplin, dan semua keterikatan itu adalah penjara. Dan .. yah, dia selalu berkata bahwa dirinya adalah seorang manusia bebas. Satu hal yang sampai saat ini masih terasa absurd di pikiranku.

Malam itu, aku menemaninya bermain piano di sebuah lounge ternama yang ternyata memperbolehkannya bermain secara freelance, yang dalam kamusnya artinya 'suka-suka gue mau kapan mainnya'. Malam itu lounge itu terasa cukup sepi. Maklum saja, hari itu bukan akhir pekan.

Setelah beberapa lagu ia mainkan dengan gemulai, ia mendatangiku yang tengah sibuk dengan pekerjaanku yang sengaja kuboyong ke tempat itu. Pada awalnya aku akan mendapat kesempatan setidaknya 1 jam untuk sendirian dan bisa menyelesaikan semua pekerjaanku disana, tapi ternyata setelah 20 menit berlalu, ia merasa bosan dan dengan segera meninggalkan pekerjaannya dan beralih padaku.

"Kerjaaaa mulu!" guyonnya sambil mengambil file yang sedang aku baca.

"Aku punya mimpi, wajar donk kalo kerja keras. Nanti siapa yang mau bayarin coba?"

"Yes, miss big dreams!" sahutnya sambil tertawa kecil.

Aku menatapnya heran dan menaruh pekerjaan yang daritadi sedang kugeluti.

"Apa sih rasanya menjadi seorang kamu? A freelancer? Serabutan kan?" tanyaku langsung.

Ia terdiam. Lama ia menatap keluar jendela, memandang hujan yang masih turun.

"That's it! Lama-lama aku jadi bosan juga nggak punya kerjaan. Aku nggak punya banyak mimpi kayak kamu sih. Untukku, bisa menjalani hidup aja udah bersyukur. Tapi, kayak ada missing pieces ajah."

Aku tertawa mendengar jawaban itu. Satu kalimat yang paling serius yang pernah aku dengar dari mulutnya.

"Eh! Kok ketawa sih? Waktu itu katanya pengen denger aku curhat, sekarang aku curhat malah kamu ketawain. Dasar nona!" ia mengelak marah. Mukanya memerah. Aku tahu ia tidak marah.

"Makanya cari cewek lhaa. Kamu suka yang kayak gimana sih? Aku cariin deh." godaku nakal.

"Yang pintar." sahutnya sambil menoleh ke arahku. "Kayak kamu." lanjutnya sambil menjitak kepalaku. Lalu ia tertawa. Aku pun tertawa.

Malam itu, ia tidak menyelesaikan pekerjaannya dan aku pun melalaikan pekerjaanku yang sudah sengaja aku bawa. Kami hanya duduk berdampingan, menatap hujan. Pikiran kami tidak kosong, kami hanya sibuk dengan angan-angan yang melayang sendiri.

Buatku, itulah yang membuatnya spesial dalam kesederhanaan. Ia bisa membuat aku merasa sendiri dengan diriku tanpa membuatku merasa kesepian dengan keheningan. Dan, malam itu, kami terdiam hingga tengah malam menjelang.

***

Seminggu sudah, tidak ada kabar darinya. Aku tidak pernah khawatir dengan dirinya. Dia memang terbiasa sendiri dan akan dengan tiba-tiba muncul di teras rumahku. Hingga hari itu aku mendapat sepotong e-mail singkat yang ternyata berasal dari dia.

From : the RainMan
To : Miss Nona
Subject : xoxoxo (whatever!)

Hei Nona!
Tebak aku ada dimana? Hahaha. You're not gonna believe it! Aku udah di Austria!
Sorry nggak ngasih tahu kamu. That night sebenarnya udah pengen ngasih tau kamu, tapi .... aku sendiri aja masih nggak percaya.
Remember ketika aku bilang aku butuh sesuatu yang lain? Nah, actually udah setengah tahunan ini aku apply scholarship untuk belajar musik ke Wiena, Austria. Surprisingly aku diterima dan aku berangkat satu hari setelah kita terakhir ketemu.
So missing u here, since disini lagi winter dan bukan hujan kayak Buitenzorg.
Promise you I'll be back soon untuk cerita macem-macem dan bikin kamu sirik!

Sincerly,
theRainMan!


***

Satu tahun sudah ia pergi dan dengan cueknya ternyata ia benar-benar tidak memberiku kabar sedikitpun. Dan, malam ini aku mematung sendiri di teras rumahku. Di atas kursi kayu panjang yang baru saja aku beli, aku melamun dan memandang ke jalanan yang terbasahi oleh hujan. Hingga aku sadar, dari jauh terlihat sesosok jangkung memasuki pekerangan rumahku. Berjalan di bawah lindungan payung berwarna gelap.

"Hei nona! Masih mau aku sirikin dengan cerita-ceritaku?"

Senyumannya masih sama. Bau hujan pun tidak berubah.

Comments

  1. hahahahaha
    hei kamu..my chocolate time girl

    ReplyDelete
  2. @ rio : heii my TP wonder boy! *so boy band bgt yaa* hahaha .

    @ pujii : makasii pujii . . :*

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...