Namanya Bari Natanegara. Seorang laki-laki yang aku kenal tidak sengaja di tempat ini. Cafe langgananku selama aku kuliah di Yogyakarta. Ternyata ia juga merupakan seorang pelanggan tetap cafe itu. Kami hanya tidak pernah bertemu di waktu yang sama, kecuali hari itu. Ketika ia mulai membentangkan kanvasnya dengan lebar dan memasang setting cafe itu sebagai latar dari lukisannya. Termasuk aku, sebagian kecil dari latar itu. Saat itu juga, aku mulai jatuh cinta. Pada kanvas itu. Pada tangan kokoh yang terasa sangat halus ketika menorehkan kuas-kuas mungil yang tak seberapa besar dibandingkan tubuhnya yang tinggi tegap. Pada satu sosok, yang saat ini kupanggil Ari. *** “Jangan panggil Bari. Kayak Bapak-bapak aja, Ari aja. Yang sedang me”NATA-NEGARA”. Hahaha.” Aku selalu ingat dengan leluconnya atas namanya sendiri. Nama yang sudah dititahkan oleh mendiang ayahnya ketika ia baru saja lahir. Ia selalu merasa nama itu terlalu berat untuknya, yang kemudian menjadi alasan mengapa ia ti...