Skip to main content

tidak lagi menggenggam pasir terlalu keras ...



".. saat orang merenungkan lagi keputusan-keputusan yang akan mereka buat, biasanya mereka berubah pikiran..... karena butuh keberanian yang besar untuk memulai suatu langkah baru.." (Paulo Coelho - The Winner Stands Alone)


Kemarin tiba-tiba saya teringat akan sebuah quote yang berbunyi, "Cinta itu seperti pasir, jangan digenggam terlalu keras atau ia akan terlepas.". Bisa dibilang quote itu cukup menggelitik saya dan cukup membuat saya sedikit merasa sedikit tersindir.

Saya kemudian mencoba untuk mereka ulang kembali akan hal-hal apa saja yang sudah saya lewati, dan betapa seringnya saya mencoba untuk menggenggam pasir itu dengan begitu keras sehingga seringkali pasir-pasir itu terlepas dari genggaman saya perlahan-lahan.

Salah satu pengalaman saya adalah mengenai sebuah kejadian yang baru saja terjadi. Betapa dengan sekuat tenaga saya mencoba untuk mengatur orang yang saya sayang. Sebuah anggapan bahwa saya selalu ingin mencoba untuk melindungi dia dari sebuah rasa kecewa dan dari sebuah kegagalan. Saya terlalu takut dia jatuh. Sehingga, berulang-ulang kali saya mencoba untuk mengulur-ulur waktu agar ia tidak melakukan hal yang dia anggap benar itu. Namun, pada saat itu juga, saya merasa bahwa tidak sepatutnya saya melarang apa yang sudah menjadi keinginannya, sehingga saya memakai sebuah topeng yang sangat besar. Berharap, ia tidak tahu bahwa saya selalu berteriak-teriak dari dalam agar ia mengurungkan niatnya dan kembali tersenyum di hadapannya dalam upaya untuk tidak terlalu menekan keputusannya juga.

Tetapi, saya sadar, walaupun topeng itu semakin besar, tapi hati saya malah semakin berontak dan tak tenang. Saya hanya berharap bahwa ia akan merasa ragu dan semakin mempertimbangkan berbagai macam pertimbangan yang akan mengurungkan niatnya. Karena, saat orang merenungkan lagi keputusan-keputusan yang akan mereka buat, biasanya mereka berubah pikiran dan karena butuh keberanian yang besar untuk memulai suatu langkah baru.

Yah, harapan memang hanya menjadi harapan. Toh, itu memang bukan keputusan yang harus saya ambil untuk hidup orang lain. Memangnya saya siapa, selain menjadi orang yang mencoba untuk mencintainya dan menerima dia apa adanya?

Kemudian, saya kembali merenungkan. Mengapa saya berusaha begitu keras untuk suatu hal yang mungkin bisa membuatnya bahagia? Sebenarnya apa yang saya takutkan? Kehidupannya atau kehidupan saya? Bahwa tidak bisa dipungkiri hal tersebut bisa membuat beberapa hal dalam hidup saya dan dia berubah. Apalagi jika orang-orang dalam hidup saya tidak bisa menerima perubahan itu. Jadi, yang seharusnya saya kuatirkan itu apa?

Tidak ada.

Karena memang sudah tidak ada lagi.

Kemarin, akhirnya saya mendengar sebuah jawaban dari segala ketakutan saya. Sebuah pernyataan dan berita bahwa ia sudah melakukannya. Bahwa ia bahagia karenanya. Dan ... entah bagaimana saya pun juga merasa demikian. Berbahagia untuknya dan merasa lega karena akhirnya semuanya sudah berakhir, semua ketakutan yang saya buat seorang diri.

Saya tahu, tidak semua orang dapat menerima perubahan besar. Namun, saya bangga ia berani mengambil sebuah keputusan besar dan telah berjalan selangkah lebih maju daripada saya untuk membangun hidupnya. Lagipula, saya sudah mencintainya, dan kini tinggal menunggu seberapa besar usaha saya untuk terus mencintainya dan menerima dia apa adanya.

Comments

  1. karena ada banyak kebahagiaan..
    dan saya senang mendengarnya....
    kamu tidak lagi memaksakan kebahagiaan menurut versimu
    hehhehe

    ReplyDelete
  2. suka saya membaca isi bloknya, mbak...
    saat membaca quotenya : "Cinta itu seperti pasir, jangan digenggam terlalu keras atau ia akan terlepas."
    membuatku teringat tentang lagunya bang iwan "Aku Sayang Kamu" :
    "Susah…susah mudah kau kudekati...
    Kucari…engkau lari kudiam kau hampiri..."
    terus berjalan dan berjalan gheetha, karena hidup tidak hanya akan berhenti hingga kau menutup mata dimalam hari... tapi kembali akan berlangsung saat kau buka mata dipagi hari... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...