Skip to main content

rasa - asa?

Kamu ingat, aku dulu pernah berkata mengenai sebuah rasa yang masih tertinggal. Ini bukan romantisme - bukan sebuah kata cinta. Rasa ingin seperti sebuah sayatan. Ada - dan bahkan terasa, namun cukup kecil untuk dilupakan. Seperti sariawan yang berada di dinding mulut. Mengganggu. Tapi, jika didiamkan maka bisa saja terhiraukan. Namun akan sedikit membuat bibir ini mengernyit, ketika kemudian tergelitik oleh gerak lidah. 

Terkadang rasa itu hilang. Ketika melihat kamu datang dan tersenyum ke arahku. Entah ada daya magis apa yang tertanam disana, yang bisa dengan segera membuat rasa itu enyah -- walau kemudian, kembali datang. 

Ingatkah kamu aku pernah mengatakannya? Dan sungguh aku ingin dunia -- untuk membuat aku mencintai kamu, karena seakan-akan seluruh alam semesta berlomba-lomba untuk mempertemukan aku dan kamu. Nah, disaat yang sama, alam semesta juga yang menentang kita untuk bersama. 

Karena - dari sisi nalar apa, air dan api bisa bersatu?
Karena - entah dilihat darimana, dua buah kutub bisa saling berdekatan. 

Aku dan kamu selayaknya sepasang sepatu. Selalu bersama - tapi, tidak akan mungkin bersatu. 
Selalu berada dekat satu sama lain, tetapi selalu sendirian.

Maka, sungguh aku sudah tidak paham lagi. Mengapa langit dan bumi begitu kejam memperolok kita - mempermainan aku. Dan, aku sudah lelah. 

Karena sejauh apapun aku berlari. 
Aku hanya akan berlari sampai sini - tidak lebih jauh. Dan, tidak ingin tuk mundur. 

Karena sejauh apapun aku mencoba untuk mendaki. 
Puncak gunung itu akan selalu lebih tinggi dari apa yang bisa kupijak. 

Dan aku sudah lelah. 
Dan aku sudah lelah untuk mencoba berdansa dengan waktu - menyisip pada setiap detikannya - hanya untuk mendapati bahwa kamu tidak ada. 
Dan aku sudah lelah untuk mencoba bertarung dengan sebuah asa yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan secara utuh. 

Aku sudah lelah - dan aku tidak tahu aku harus apa lagi?




Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...