Kamu ingat, aku dulu pernah berkata mengenai sebuah rasa yang masih tertinggal. Ini bukan romantisme - bukan sebuah kata cinta. Rasa ingin seperti sebuah sayatan. Ada - dan bahkan terasa, namun cukup kecil untuk dilupakan. Seperti sariawan yang berada di dinding mulut. Mengganggu. Tapi, jika didiamkan maka bisa saja terhiraukan. Namun akan sedikit membuat bibir ini mengernyit, ketika kemudian tergelitik oleh gerak lidah.
Terkadang rasa itu hilang. Ketika melihat kamu datang dan tersenyum ke arahku. Entah ada daya magis apa yang tertanam disana, yang bisa dengan segera membuat rasa itu enyah -- walau kemudian, kembali datang.
Ingatkah kamu aku pernah mengatakannya? Dan sungguh aku ingin dunia -- untuk membuat aku mencintai kamu, karena seakan-akan seluruh alam semesta berlomba-lomba untuk mempertemukan aku dan kamu. Nah, disaat yang sama, alam semesta juga yang menentang kita untuk bersama.
Karena - dari sisi nalar apa, air dan api bisa bersatu?
Karena - entah dilihat darimana, dua buah kutub bisa saling berdekatan.
Aku dan kamu selayaknya sepasang sepatu. Selalu bersama - tapi, tidak akan mungkin bersatu.
Selalu berada dekat satu sama lain, tetapi selalu sendirian.
Maka, sungguh aku sudah tidak paham lagi. Mengapa langit dan bumi begitu kejam memperolok kita - mempermainan aku. Dan, aku sudah lelah.
Karena sejauh apapun aku berlari.
Aku hanya akan berlari sampai sini - tidak lebih jauh. Dan, tidak ingin tuk mundur.
Karena sejauh apapun aku mencoba untuk mendaki.
Puncak gunung itu akan selalu lebih tinggi dari apa yang bisa kupijak.
Dan aku sudah lelah.
Dan aku sudah lelah untuk mencoba berdansa dengan waktu - menyisip pada setiap detikannya - hanya untuk mendapati bahwa kamu tidak ada.
Dan aku sudah lelah untuk mencoba bertarung dengan sebuah asa yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan secara utuh.
Aku sudah lelah - dan aku tidak tahu aku harus apa lagi?
Terkadang rasa itu hilang. Ketika melihat kamu datang dan tersenyum ke arahku. Entah ada daya magis apa yang tertanam disana, yang bisa dengan segera membuat rasa itu enyah -- walau kemudian, kembali datang.
Ingatkah kamu aku pernah mengatakannya? Dan sungguh aku ingin dunia -- untuk membuat aku mencintai kamu, karena seakan-akan seluruh alam semesta berlomba-lomba untuk mempertemukan aku dan kamu. Nah, disaat yang sama, alam semesta juga yang menentang kita untuk bersama.
Karena - dari sisi nalar apa, air dan api bisa bersatu?
Karena - entah dilihat darimana, dua buah kutub bisa saling berdekatan.
Aku dan kamu selayaknya sepasang sepatu. Selalu bersama - tapi, tidak akan mungkin bersatu.
Selalu berada dekat satu sama lain, tetapi selalu sendirian.
Maka, sungguh aku sudah tidak paham lagi. Mengapa langit dan bumi begitu kejam memperolok kita - mempermainan aku. Dan, aku sudah lelah.
Karena sejauh apapun aku berlari.
Aku hanya akan berlari sampai sini - tidak lebih jauh. Dan, tidak ingin tuk mundur.
Karena sejauh apapun aku mencoba untuk mendaki.
Puncak gunung itu akan selalu lebih tinggi dari apa yang bisa kupijak.
Dan aku sudah lelah.
Dan aku sudah lelah untuk mencoba berdansa dengan waktu - menyisip pada setiap detikannya - hanya untuk mendapati bahwa kamu tidak ada.
Dan aku sudah lelah untuk mencoba bertarung dengan sebuah asa yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan secara utuh.
Aku sudah lelah - dan aku tidak tahu aku harus apa lagi?
Comments
Post a Comment