Skip to main content

Literasi

Malam ini terlihat lebih sunyi dari biasanya. Mungkin karena ini hari Senin dan bukan waktu yang biasanya dihabiskan para pekerja metropolitan untuk menghabiskan waktu di tempat ini. Tempat ini belum pernah menjadi pilihan pertamaku, tetapi hanya untuk malam ini aku rindu untuk menegak alkohol dengan kadar yang lebih tinggi dari bir-bir minimarket. 

Sudah lebih dari dua pramusaji bertanya padaku apakah aku menunggu orang lain dan untuk kesekian kalinya pula aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Mulutku asam. Entah karena memang aku belum mengisi perutku dengan makanan solid atau karena jeruk nipis yang aku hisap setelah menegak tequila yang rasa pahitnya tidak mengguyur beban di kepalaku. 

Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya dimana aku akan terbiasa tenggelam oleh pekerjaan yang tidak ada habisnya. Malam ini, aku muak dengan semua tugas yang tidak kunjung berakhir. Entah aku muak atau mungkin berita yang kudengar hari ini terlalu memuakkan untuk tidak dihapus dari kepalaku. 

Muak.

Aku bahkan tidak sanggup untuk mengakui pada diriku sendiri bahwa aku patah hati. Aku sebegitu takutnya untuk menghadapi realita bahwa aku patah hati. Mungkin karena untuk patah hati, aku harus pernah jatuh hati, dan untuk hal itu aku masih belum ingin mengakui. 

Dan, seperti biasa, untuk mengenyahkan pikiran-pikiran bodoh itu, aku akan membuat diriku mabuk hingga kepalaku terasa berat dan aku akan memilih untuk memindahkan diriku di ranjang dan tenggelam dalam tidur lelap selama 12 jam ke depan. 

Seorang bartender mendatangiku dan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ternyata sedari tadi, aku sudah membuat sebuah pemandangan nestapa di pinggir meja bar ini. Seorang wanita dengan pakaian yang masih cukup rapi, sudah meminum gelas ketiga tequila dan secara tidak sadar mulai menangis sendirian. Cukup menyedihkan sebenarnya. Dan, aku hanya menggeleng sambil memintanya untuk memberiku sebuah cocktail yang lebih manis dan ia memberiku segelas lychee margarita. Sungguh padanan yang tidak sebanding dengan tequila pahit yang tadi kuminum. 

Lalu, disitu aku mendengar lagu tersebut. "Ini lagu apa ya?" aku bertanya pada si bartender. "Cayman Island, kak," jawabnya dan kemudian ia bertanya pada temannya mengenai siapa penyanyi yang membawakan lagu ini. Dan untuk hal tersebut, aku tidak perlu bertanya karena aku sudah tahu. 

"Kings of Convinience, kak, yang nyanyi. Suka ya?" tanyanya kepadaku. 

"Memorable." jawabku singkat sambil tersenyum.

Aku tidak pernah tahu judul lagu ini apa. Aku hanya tahu, lagu ini selalu muncul dalam momen-momen yang selalu aku ingat. Aku ingat bahwa hari-hari terakhir aku menghabiskan masa kuliahku, aku akan berkunjung ke rumah seorang kawan dan ia selalu memutar lagu yang sama berulang-ulang. Lagu ini. Aku tidak pernah bertanya, atau mungkin aku tidak sadar bahwa ia mengulang lagu yang sama.

Lagu ini, entah mengapa, berbicara banyak mengenai kisah itu. Sebuah cerita yang tidak pernah terdengar. Sebuah rasa cinta yang tidak pernah tersampaikan. Mungkin karena kawanku itu pernah sekali mengatakan padaku di tengah-tengah perjalanan panjang kami menyusuri pantai, "Kamu tahu, berbicara itu tidak selamanya harus berbentuk kata-kata. Dan, aku belajar untuk mendengar dari sebuah suara yang paling sunyi."

Dan, dengannya aku mendengar ia mengatakan bahwa ia mencintaiku dalam kesunyiannya. Ia hanya menatap mataku dan seakan seluruh tubuhnya berteriak bahwa ia mencintaiku. Kesunyian itu sungguh sangat keras hingga telingaku menjadi pengang.

Namun saat ini, lagu ini jadi terasa begitu memuakkan. Karena aku sudah lelah untuk diam, untuk berdamai dengan hati yang berkecamuk. Untuk tidak lagi mendengarkan isyarat dan ingin mendengar sebuah suara. 

Kawanku mungkin merupakan sebuah memorabilia lama yang tersimpan dalam peta pikiranku. Namun, hari ini adalah sebuah realita dan aku ingin mengindahkan semua tanda yang tidak bersuara. Aku ingin sebuah literasi yang lebih nyata, sebuah suara yang aku ingin dengar, sebelum ia pergi. 


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


.. dan ketika akhirnya ia menjadi sebuah pengecualian dari semua isyarat yang dulu bisa aku terima. Maka hanya dengan itu saja, aku sudah merasa cukup. Dan, jika sekarang ia memang harus pergi, aku tidak lagi butuh tiga gelas tequila untuk meresapi kepergiannya kali ini. 

Like the sound of silence calling
I hear your voice and suddenly I'm falling
Lost in a dream
Like the echoes of our souls are meeting
You say those words, my heart stops beating
I wonder what it means
What could it be that comes over me?
At times I can't move
At times I can hardly breathe
When you say you love me
The world goes still, so still inside and
When you say you love me
For a moment, there's no one else alive
And when you say you love me
That's all you have to say
I'll always feel this way

When you say you love me
Do you know how I love you?

Popular posts from this blog

A new perspective

Someone once told me that there is nothing wrong with changes. He said that it would give me new perspective. He said, with me being away, it would makes me appreciate the thing that I had before. And yes, sure, Lately, I have been feeling it to be true. To be away with the things that I used to hold on - makes me realize that I have been spoiled. And now, I need to learn how to survive. To learn how to be brave again. And, sometimes, inevitably -- learning how to be OK with the sound of nothingness. Of course, once in a while, I envy those people who are still surrounded by luxury things. Obviously, I would constantly complain about the absence of my old routine. And, also sometimes, I would try to run away -- find the best escape route, just to get rid of the pain. How I hate changes. I wish some things were just stay the same -- forever. But then, I won't ever learn how to fly higher. I won't grow. But then, I also kind of asking my self, ... do I real...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

Mimpi saya untuk mereka - penolong skripsi saya!

Beberapa hari belakangan ini, saya jadi teringat komentar teman-teman atau orang-orang yang bertanya tentang tugas akhir saya. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat klise dan bisa saya jawab apa adanya. Karena penelitian saya berhubungan dengan orang Tunarungu, dan ternyata pas nya lagi, di try out saya yang (Alhamdulilah) ke-tiga kalinya, saya diminta untuk ganti metode sama dosen pembimbing saya. Pada awalnya, cara saya mengambil data adalah dengan metode survei dengan mengisi skala/kuestioner, lalu, karena data saya tak kunjung valid, dosen pembimbing saya yang pantang menyerah dengan penelitian saya, mengusulkan saya untuk mengambil metode wawancara untuk mengambil data. http://maxcdn.fooyoh.com Pertanyaannya adalah: "Bagaimana cara mewawancara mereka?" Pertanyaan itu sering sekali ditanyakan oleh orang-orang yang tahu mengenai seluk-beluk skripsi saya. Ada yang keheranan, ada yang merasa itu cukup mustahil, ada yang merasa saya ini becanda, atau bahkan a...