Skip to main content

Jendela di lantai 25

Aku terbangun dari tidurku. Tubuhku terasa dingin dan aku menarik selimut untuk semakin membenarmkan tubuhku disana. Agak samar-samar aku mulai mengingat bahwa aku tidak berada di kamarku sendiri. Akh.. aku kemudian menghela nafas panjang. Mengingat bahwa sudah hampir 12 jam aku berada di tempat ini. 

Aku melihat sosoknya yang berdiri menghadap ke arah jendela besar yang terdapat tepat di depan tempat tidur ini. Aku selalu menyukai punggungnya. Melihat sosoknya yang tegap disana, seakan dunia hanya miliknya dan si langit. Aku suka melihat bagaimana siluetnya terbentuk dari remangnya kamar ini dan memantul ke dinding di sebelahnya. 

"Sudah bangun?" ia seakan terkaget melihat aku sudah duduk dengan memeluk selimut dengan erat di tengah-tengah tempat tidur. 

Aku hanya mengangguk. Sedikit tersipu, mengingat aku hanya terbungkus oleh selimut ini dan tidak ada helai kain lainnya. Tiba-tiba ia menghampiri tempatku duduk dan membelai rambutku yang berantakan, "You look so beautiful."

Senyumnya selalu bisa mengalihkan duniaku. Seakan hanya ada aku dan dia dan dunia hanya bisa cemburu dengan apa yang kita punya. 

"Aku suka apartemen kamu. Tapi yang dulu juga bagus, sih. Why did you move?" aku bertanya seraya memecah keheningan. Aku benci ketika hanya diam dan tenggelam dalam tatapannya. Aku seperti kekurangan udara dan tertelan bulat-bulat. 

Ia membenarkan posisi duduknya untuk bisa duduk tepat disampingku.Tangannya merangkul tubuhku dan memintaku untuk bersender di bahunya, "supaya aku bisa bikin kamu betah disampingku seperti ini. Karena dari sini, langit terlihat lebih dekat. And the city light will be the witness of us."

"Aku kan selalu betah kalau sama kamu!" aku merajuk sambil membenamkan mukaku ke dadanya yang bidang. "I always love how you smell," kataku kemudian. 

"How do I smell? Aku belum mandi." 

"Like home." aku tersenyum sambil menggit lehernya. Aku tahu ia akan selalu tertawa ketika aku mendekat ke arah lehernya. "Geli tahu!" ia mulai membalas gigitanku dengan mencubit pinggangku. Disitu aku akan kalah dan tertawa terbahak-bahak. 

"Kamu harus sering-sering tertawa. Kamu cantik kalau tertawa." sahutnya sambil mendekapku lebih erat ke arah tubuhnya. "Aku tahu," jawabku sambil memamerkan deretan gigiku. 

Akh, aku selalu suka berada di dekatnya seperti ini. Ketika aku bisa dengan langsung merasakan hangat tubuhnya. Membiarkannya mendekapku walaupun membuatku sulit bernapas. Merasa bahwa aku tidak akan jatuh.

"Tapi .. " aku kembali memecah keheningan yang bertengger diantara diriku dan dia.

Hhmm .. ia menatapku dengan wajah yang bingung. "Tapi apa?" tanyanya.

"Untuk apa ya kamu pindah kesini. I'll be leaving in 48 hours anyway. Won't enjoy this view also."

Ia menghela nafas dan bangun dari sisi sampingku. Diambilnya gelas berisi air putih di ranjang tempat tidur ini. Lama ia terdiam setelah menegak habis gelas penuh itu.

"Jadi, aku salah ingin membuat kamu bahagia sebelum akhirnya kamu pergi?"

Aku segera beranjak ke arahnya, mengalungkan lenganku di lehernya. Ia sangat tinggi hingga aku harus berjinjit. "No, this is perfect."

"Lalu, mari kita lanjutkan malam ini. Melihat langit berpendar di Jakarta." ia tersenyum.

"Menyongsong matahari yang datang." aku melanjutkan.

"Aku buatkan teh ya." katanya kemudian sambil tersenyum dan mencium keningku.

Ia mengangkatku dengan kedua lengannya yang kekar. Mendudukkanku di depan jendela. Tak lama ia datang, dua buah cangkir berisi teh ada di tangannya. Dan disanalah kami berada, menunggu matahari di depan sebuah jendela yang besar dari sebuah ketinggian lantai 25.

Karena hari ini hanya yang kita punya. 

Popular posts from this blog

A new perspective

Someone once told me that there is nothing wrong with changes. He said that it would give me new perspective. He said, with me being away, it would makes me appreciate the thing that I had before. And yes, sure, Lately, I have been feeling it to be true. To be away with the things that I used to hold on - makes me realize that I have been spoiled. And now, I need to learn how to survive. To learn how to be brave again. And, sometimes, inevitably -- learning how to be OK with the sound of nothingness. Of course, once in a while, I envy those people who are still surrounded by luxury things. Obviously, I would constantly complain about the absence of my old routine. And, also sometimes, I would try to run away -- find the best escape route, just to get rid of the pain. How I hate changes. I wish some things were just stay the same -- forever. But then, I won't ever learn how to fly higher. I won't grow. But then, I also kind of asking my self, ... do I real...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

Mimpi saya untuk mereka - penolong skripsi saya!

Beberapa hari belakangan ini, saya jadi teringat komentar teman-teman atau orang-orang yang bertanya tentang tugas akhir saya. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat klise dan bisa saya jawab apa adanya. Karena penelitian saya berhubungan dengan orang Tunarungu, dan ternyata pas nya lagi, di try out saya yang (Alhamdulilah) ke-tiga kalinya, saya diminta untuk ganti metode sama dosen pembimbing saya. Pada awalnya, cara saya mengambil data adalah dengan metode survei dengan mengisi skala/kuestioner, lalu, karena data saya tak kunjung valid, dosen pembimbing saya yang pantang menyerah dengan penelitian saya, mengusulkan saya untuk mengambil metode wawancara untuk mengambil data. http://maxcdn.fooyoh.com Pertanyaannya adalah: "Bagaimana cara mewawancara mereka?" Pertanyaan itu sering sekali ditanyakan oleh orang-orang yang tahu mengenai seluk-beluk skripsi saya. Ada yang keheranan, ada yang merasa itu cukup mustahil, ada yang merasa saya ini becanda, atau bahkan a...