Aku terbangun dari tidurku. Tubuhku terasa dingin dan aku menarik selimut untuk semakin membenarmkan tubuhku disana. Agak samar-samar aku mulai mengingat bahwa aku tidak berada di kamarku sendiri. Akh.. aku kemudian menghela nafas panjang. Mengingat bahwa sudah hampir 12 jam aku berada di tempat ini.
Aku melihat sosoknya yang berdiri menghadap ke arah jendela besar yang terdapat tepat di depan tempat tidur ini. Aku selalu menyukai punggungnya. Melihat sosoknya yang tegap disana, seakan dunia hanya miliknya dan si langit. Aku suka melihat bagaimana siluetnya terbentuk dari remangnya kamar ini dan memantul ke dinding di sebelahnya.
"Sudah bangun?" ia seakan terkaget melihat aku sudah duduk dengan memeluk selimut dengan erat di tengah-tengah tempat tidur.
Aku hanya mengangguk. Sedikit tersipu, mengingat aku hanya terbungkus oleh selimut ini dan tidak ada helai kain lainnya. Tiba-tiba ia menghampiri tempatku duduk dan membelai rambutku yang berantakan, "You look so beautiful."
Senyumnya selalu bisa mengalihkan duniaku. Seakan hanya ada aku dan dia dan dunia hanya bisa cemburu dengan apa yang kita punya.
"Aku suka apartemen kamu. Tapi yang dulu juga bagus, sih. Why did you move?" aku bertanya seraya memecah keheningan. Aku benci ketika hanya diam dan tenggelam dalam tatapannya. Aku seperti kekurangan udara dan tertelan bulat-bulat.
Ia membenarkan posisi duduknya untuk bisa duduk tepat disampingku.Tangannya merangkul tubuhku dan memintaku untuk bersender di bahunya, "supaya aku bisa bikin kamu betah disampingku seperti ini. Karena dari sini, langit terlihat lebih dekat. And the city light will be the witness of us."
"Aku kan selalu betah kalau sama kamu!" aku merajuk sambil membenamkan mukaku ke dadanya yang bidang. "I always love how you smell," kataku kemudian.
"How do I smell? Aku belum mandi."
"Like home." aku tersenyum sambil menggit lehernya. Aku tahu ia akan selalu tertawa ketika aku mendekat ke arah lehernya. "Geli tahu!" ia mulai membalas gigitanku dengan mencubit pinggangku. Disitu aku akan kalah dan tertawa terbahak-bahak.
"Kamu harus sering-sering tertawa. Kamu cantik kalau tertawa." sahutnya sambil mendekapku lebih erat ke arah tubuhnya. "Aku tahu," jawabku sambil memamerkan deretan gigiku.
Akh, aku selalu suka berada di dekatnya seperti ini. Ketika aku bisa dengan langsung merasakan hangat tubuhnya. Membiarkannya mendekapku walaupun membuatku sulit bernapas. Merasa bahwa aku tidak akan jatuh.
"Tapi .. " aku kembali memecah keheningan yang bertengger diantara diriku dan dia.
Hhmm .. ia menatapku dengan wajah yang bingung. "Tapi apa?" tanyanya.
"Untuk apa ya kamu pindah kesini. I'll be leaving in 48 hours anyway. Won't enjoy this view also."
Ia menghela nafas dan bangun dari sisi sampingku. Diambilnya gelas berisi air putih di ranjang tempat tidur ini. Lama ia terdiam setelah menegak habis gelas penuh itu.
"Jadi, aku salah ingin membuat kamu bahagia sebelum akhirnya kamu pergi?"
Aku segera beranjak ke arahnya, mengalungkan lenganku di lehernya. Ia sangat tinggi hingga aku harus berjinjit. "No, this is perfect."
"Lalu, mari kita lanjutkan malam ini. Melihat langit berpendar di Jakarta." ia tersenyum.
"Menyongsong matahari yang datang." aku melanjutkan.
"Aku buatkan teh ya." katanya kemudian sambil tersenyum dan mencium keningku.
Ia mengangkatku dengan kedua lengannya yang kekar. Mendudukkanku di depan jendela. Tak lama ia datang, dua buah cangkir berisi teh ada di tangannya. Dan disanalah kami berada, menunggu matahari di depan sebuah jendela yang besar dari sebuah ketinggian lantai 25.
Karena hari ini hanya yang kita punya.
"Tapi .. " aku kembali memecah keheningan yang bertengger diantara diriku dan dia.
Hhmm .. ia menatapku dengan wajah yang bingung. "Tapi apa?" tanyanya.
"Untuk apa ya kamu pindah kesini. I'll be leaving in 48 hours anyway. Won't enjoy this view also."
Ia menghela nafas dan bangun dari sisi sampingku. Diambilnya gelas berisi air putih di ranjang tempat tidur ini. Lama ia terdiam setelah menegak habis gelas penuh itu.
"Jadi, aku salah ingin membuat kamu bahagia sebelum akhirnya kamu pergi?"
Aku segera beranjak ke arahnya, mengalungkan lenganku di lehernya. Ia sangat tinggi hingga aku harus berjinjit. "No, this is perfect."
"Lalu, mari kita lanjutkan malam ini. Melihat langit berpendar di Jakarta." ia tersenyum.
"Menyongsong matahari yang datang." aku melanjutkan.
"Aku buatkan teh ya." katanya kemudian sambil tersenyum dan mencium keningku.
Ia mengangkatku dengan kedua lengannya yang kekar. Mendudukkanku di depan jendela. Tak lama ia datang, dua buah cangkir berisi teh ada di tangannya. Dan disanalah kami berada, menunggu matahari di depan sebuah jendela yang besar dari sebuah ketinggian lantai 25.
Karena hari ini hanya yang kita punya.