Aku suka pergi berkendara naik mobil. Membuatku dapat melihat pemandangan lain selain dinding kamarku yang sudah mulai jenuh kepelot
oti sepanjang hari. Tapi, apa yang kulihat sendiri tidak sama dengan apa yang biasa orang lain lihat. Aku melihatnya secara horizontal. Seluas kaca jendela mo
bil ayah.
Aku tidak bisa terbangun, penyakit yang aku bawa semenjak lahir ini membuatku mampu untuk menikmati dunia dengan kacamata yang berbeda. Aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur, bahkan untuk duduk sekalipun.
Aku tidak pernah mengeluh, hampir tidak pernah mungkin. Mungkin karena aku tidak pernah tahu perasaan yang lain selain terbaring diam dan memandangi kamar mungilku. Aku memang pernah cemburu melihat bunda dan ayah yang seringkali keluar masuk dan menengokku di dalam kamar. Bagaimana mereka bisa berdiri dan melengganggkan kaki keluar masuk kamarku sesuka hati. Tapi, kata mereka aku beruntung, aku spesial, dan karenanya aku tidak pernah mengeluh.
Tapi, aku tetap lebih senang berada di luar rumah. Di dalam mobil ayah. Ketika aku bisa memandang luasnya langit yang biru, melihat pohon-pohon dan tiang listrik berlarian mengejar mobil ayah; yang kemudian kuketahui kalau mereka tidak berlari tapi kami yang melaju dengan cepat. Aku suka melihat rintikan air hujan yang jatuh perlahan menggelintir dari jendela mobil ayah. Lucu. Aku selalu tertawa geli melihatnya. Aku melihat semua itu dengan tertidur di pangkuan Bunda. Senang sekali rasanya.
Tidak pernah ada hal lain yang aku kerjakan. Kata ayah, itu adalah kenikmatan yang Tuhan beri untukku. Aku bahkan tidak pernah mengenal orang lain. Bunda berkata kalau dunia ini milik kami bertiga dan aku mempercayainya.
Tapi, suatu hari Bunda berkata kalau aku harus belajar untuk berbagi. Aku tidak tahu apa artinya berbagi. Bunda berkata kalau nanti aku akan punya adik. Tapi, dulu Bunda berkata kalau dunia ini hanya milik kami bertiga. Siapa itu adik?
Beberapa bulan berlalu dan aku terbangun suatu pagi dengan mendengar suara yang memekakkan telinga. Kata ayah, itu adalah suara adik yang ingin menyapaku. Aku sudah tidak menyukai suaranya, aku harap ia tidak seburuk kelihatannya.
Bunda kemudian masuk ke kamar dan membawa adik masuk ke dalam kamar. Adik terlihat sedang tertidur, begitu kecil dan mungil. Kata Ayah, adik berasal dari malaikat di surga yang datang untuk menemaniku. Tapi, mengapa ia harus menangis dengan begitu keras dan mengambil Bunda dariku?
Hari berganti hari, adik terlihat semakin besar. Ia bisa berjalan. Ia bisa keluar masuk kamarku dengan leluasa dan bahkan meninggalkan barang-barang dengan berantakan. Ayah dan Bunda tidak lagi sering menengokku dan mengajakku berkendara naik mobil. Dunia ini sudah dibagi banyak dengan adik kecil itu.
Semakin lama, aku semakin sering mendengar tawa mereka di luar kamarku, bukan di dalam kamarku. Aku semakin sering ditinggal sendiri untuk berceloteh dengan dinding kamarku yang semakin lama semakin tuli. Mereka bisa berlari bersama, berjalan, dan mengacuhkan aku yang tidak bisa bangkit. Dulu, Ayah dan Bunda bilang aku beruntung, tapi aku iri dengan adik yang bisa melakukan apa yang tidak bisa aku lakukan.
Aku ingin mencoba mengeluh pada Ayah dan Bunda, tapi mereka kemudian akan berkata kalau semua ini rencana Tuhan. Apa benar Tuhan yang membuat aku seperti ini? Apakah Tuhan juga menciptakan adik yang mengambil Ayah dan Bunda dariku?
Aku senang berkendara dengan mobil. Membuatku bisa melihat apa yang tidak bisa aku lihat setiap harinya. Yang membuatku sadar kalau dunia ini bukan hanya milik kami bertiga, tapi dunia ini milik banyak hal dan aku hanya sebagian kecil diantaranya. Sebagian kecil yang tidak beruntung. Tapi aku tidak mengeluh, hampir tidak pernah mengeluh. Karena aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang bukan aku.
Comments
Post a Comment