Skip to main content

menjadi orang bermuka dua atau jadi musuh sejagad raya?


Ini posting saya setelah sekian lama saya nggak ngerasa punya feel untuk nulis. Bener juga kata teman saya, kalo saya lagi senang, saya nggak akan pernah menulis. Kenapa? Jawabannya gampang, karena kalo orang lagi senang, dia nggak perlu mengadu ke siapa-siapa. Tapi, kalo orang galau atau lagi sedih, dia pasti akan nyari temen bicara yang nggak perlu banyak berkomentar. Dan..akhirnya pasti akan terbit sebuah tulisan yang katanya jauh lebih mengena di hati.

Saat ini, saya bukan lagi galau. Kalo dibilang sedih juga nggak terlalu, tapi mungkin saya cuma lagi kecewa aja. Tapi, bukan berarti saya juga mengesampingkan hal-hal lain yang ternyata bikin saya luar bisa senang beberapa hari ini.

Saya merasa bimbang dengan keputusan yang saya buat. Saya merasa apa yang sudah saya lakukan adalah hal yang paling tepat yang bisa saya lakukan. Untuk menyelamatkan diri saya dari sebuah obsesi yang tinggi dan juga untuk berbicara sejujur mungkin.

Sudah lama memang saya menyimpan sebuah kekesalan di hati saya, dan jujur saya nggak mau menyimpannya. Saya mau kekesalan itu saya bagi ke orang yang bikin saya kesel supaya dia bisa berubah menjadi orang yang lebih baik dan bukan menjadi orang yang saya mau. Saya nggak merasa subyektif kok, soalnya saya juga tahu kalo banyak orang lain juga ngerasain apa yang saya rasain. Saya juga mau jujur soalnya saya nggak mau munafik dengan menjadi backstabber yang bermuka dua. Saya benci orang seperti itu, jadi saya nggak mungkin mau donk jadi salah satunya.

Dan..Ya, akhirnya saya melakukan keduanya. Melampiaskan emosi kekesalan saya dan berbicara jujur tentang apa yang saya rasakan. Saya nggak menghakimi kok, wong saya juga nggak menuntut apa-apa. Saya cuma bilang apa yang saya rasain. TITIK.

Tapi, ternyata prediksi saya meleset. Saya jadi merasa kalo apa yang saya omongin itu entah kurang tepat waktunya atau salah cara menyampaikannya atau mungkin emang udah salah dari awal kalo saya harus mengungkapkannya. Akhirnya semua runyam. Kayak seakan-akan ada dementor yang menghisap puing-puing tertawa dan membuat semua orang jadi bermuram durja.

Jangan dikira saya jadi seneng, enggak! Saya memang lega karena saya BERANI untuk bicara jujur di depan muka orang itu. Jarang lowh saya jadi orang yang blak-blakan. Jadi, kalo Anda adalah salah satu orang yang pernah denger kejujuran saya, berbahagialah. Karena berarti saya sayang sama Anda dan mau Anda tahu apa yang saya pikirkan. Tapi, saya nggak berekspektasi lebih kok!


Jadi, pada akhirnya..saya jujur kecewa. Kecewa dengan prediksi saya. Kecewa dengan sikap orang itu yang ternyata terkesan marah sama saya, karena saya itu mungkin dianggap bermusuhan sama dia.


Tapi, ya sudah. Saya dulu juga pernah belajar kok dari pengalaman yang sama. Dulu, saya pernah kehilangan sahabat saya di SMA karena saya terang-terangan bilang ketidaksukaan saya terhadap apa yang dia lakukan. Akhirnya, persahabatan saya sempet putus. Saya jadi takut untuk ngomong lagi deh ketidaksukaan saya ke dia. Mungkin, hal ini pertanda kalo saya belum belajar dari kesalahan saya ya? Atau, apa mungkin Anda beranggapan kalo apa yang saya lakukan itu nggak salah?

Hhhmm..seperti itulah. Bener kata orang, susah jadi orang jujur. So, hidup kemunafikan?!

Comments

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...