Malam ini, saya masih berada di KBT. Sebuah tempat di kampus saya yang biasa dipakai sebagai tempat 'nongkrong' teman-teman Fakultas Psikologi USD. Malam ini PR saya memang melembur tugas Psikodiagnostik III: Wawancara untuk membuat resume. Tugas yang sebenarnya memang sudah diberikan dari jauh-jauh hari tapi baru saya ingat hari ini.
Malam ini juga tidak seperti malam-malam biasanya. Dimana banyak sekali orang biasanya berkumpul disini, namun kali ini seakan-akan semua orang mau sedikit mengalah dan memberikan sedikit ketenangan bagi saya untuk meluangkan konsentrasi saya pada deadline tugas ini.
Memang, sebenarnya masih ada juga segelintir orang-orang yang sibuk beraktifitas di sana-sini, sibuk berjalan mondar-mandir entah mau kemana, ataupun mungkin hanya segelintir orang yang terlihat tidak tahu mau berbuat apa. Mereka ramai disana, bersama teman-temannya atau sibuk dengan kegiatan mereka sendiri dan tidak memperdulikansaya. Saya juga tidak terlalu perduli dengan kehadiran mereka disana. Saya hanya ingin berfokus pada pekerjaan saya dan berharap semoga tugas ini segera berakhir.
Sampailah saya pada suatu waktu dimana perut saya tidak lagi bisa berkompromi. Saya menengok sepintas ke arah jam tangan Levis butut saya, ternyata sudah mendekati pukul 19.00. Wajar saja saya merasa lapar, sudah sedari pagi belum ada makanan yang mengganjal perut saya lagi.
Untuk urusan mengerjakan tugas, saya memang tidak suka diganggu. Tetapi, bukan berarti hal itu merupakan generalisasi untuk semua hal. Saya paling benci makan sendirian. Kemudian, pikiran pertama yang melintas di kepala saya tentulah mencari orang untuk menemani saya makan. Dan, betapa rindunya saya untuk mengajak ia makan. Yang berarti, untuk kesekian kalinya saya melanggar prinsip saya sendiri.
Saya meraih handphone Qwerty besar saya dan saya mulai menuliskan sebuah pesan singkat untuk seorang dia yang entah ada dimana. Harapan besar sudah mulai merasuki kepala saya. Begitu berharap kalau ia menyanggupi ajakan itu walaupun hanya sekedar untuk duduk dan berbincang-bincang.
Tapi, mungkin seharusnya saya tetap berpegang pada prinsip awal saya untuk tetap berada di luar zona amannya. Karena ternyata, saya lah yang mengancam diri saya sendiri. Untuk ke sekian kalinya, saya kembali diberi jawaban yang membuat air mata saya terjatuh, entah mengapa. Saya begitu marah, kesal, dan sakit hati. Mungkin, harapan saya terlalu tinggi untuk sebuah hal yang sepele. Namun, kesepelean itu masih bisa membuat saya begitu hancur.
Saya tidak tahu lagi apa yang ada dalam hati saya. Saya bahkan tidak lagi mau perduli. Saya benar-benar merasa bahwa waktu yang sudah berlalu itu hanya sebuah goretan detik yang tidak bermakna. Bahwa saya, secara hiperbola, merasa bahwa saya tidak bermakna lebih lagi untuk dia.
Luruskan saya jika perkataan saya sudah melenceng. Benarkan saya jika saya salah. Jelaskan pada saya apa yang harus saya tangkap. Saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana untuk membuat hati saya sedikit lebih tenang.
Malam ini juga tidak seperti malam-malam biasanya. Dimana banyak sekali orang biasanya berkumpul disini, namun kali ini seakan-akan semua orang mau sedikit mengalah dan memberikan sedikit ketenangan bagi saya untuk meluangkan konsentrasi saya pada deadline tugas ini.
Memang, sebenarnya masih ada juga segelintir orang-orang yang sibuk beraktifitas di sana-sini, sibuk berjalan mondar-mandir entah mau kemana, ataupun mungkin hanya segelintir orang yang terlihat tidak tahu mau berbuat apa. Mereka ramai disana, bersama teman-temannya atau sibuk dengan kegiatan mereka sendiri dan tidak memperdulikansaya. Saya juga tidak terlalu perduli dengan kehadiran mereka disana. Saya hanya ingin berfokus pada pekerjaan saya dan berharap semoga tugas ini segera berakhir.
Sampailah saya pada suatu waktu dimana perut saya tidak lagi bisa berkompromi. Saya menengok sepintas ke arah jam tangan Levis butut saya, ternyata sudah mendekati pukul 19.00. Wajar saja saya merasa lapar, sudah sedari pagi belum ada makanan yang mengganjal perut saya lagi.
Untuk urusan mengerjakan tugas, saya memang tidak suka diganggu. Tetapi, bukan berarti hal itu merupakan generalisasi untuk semua hal. Saya paling benci makan sendirian. Kemudian, pikiran pertama yang melintas di kepala saya tentulah mencari orang untuk menemani saya makan. Dan, betapa rindunya saya untuk mengajak ia makan. Yang berarti, untuk kesekian kalinya saya melanggar prinsip saya sendiri.
Saya meraih handphone Qwerty besar saya dan saya mulai menuliskan sebuah pesan singkat untuk seorang dia yang entah ada dimana. Harapan besar sudah mulai merasuki kepala saya. Begitu berharap kalau ia menyanggupi ajakan itu walaupun hanya sekedar untuk duduk dan berbincang-bincang.
Tapi, mungkin seharusnya saya tetap berpegang pada prinsip awal saya untuk tetap berada di luar zona amannya. Karena ternyata, saya lah yang mengancam diri saya sendiri. Untuk ke sekian kalinya, saya kembali diberi jawaban yang membuat air mata saya terjatuh, entah mengapa. Saya begitu marah, kesal, dan sakit hati. Mungkin, harapan saya terlalu tinggi untuk sebuah hal yang sepele. Namun, kesepelean itu masih bisa membuat saya begitu hancur.
Saya tidak tahu lagi apa yang ada dalam hati saya. Saya bahkan tidak lagi mau perduli. Saya benar-benar merasa bahwa waktu yang sudah berlalu itu hanya sebuah goretan detik yang tidak bermakna. Bahwa saya, secara hiperbola, merasa bahwa saya tidak bermakna lebih lagi untuk dia.
Luruskan saya jika perkataan saya sudah melenceng. Benarkan saya jika saya salah. Jelaskan pada saya apa yang harus saya tangkap. Saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana untuk membuat hati saya sedikit lebih tenang.
wuiidihh..ada yang ge emosional hehhe
ReplyDelete