Skip to main content

Melawan Dunia

Petang itu, matahari baru mulai menghilang dari cakrawala. Menorehkan lembayung yang masih malu-malu untuk menyombongkan diri - mungkin ia masih bingung dengan jati dirinya yang hanya ada dan tiada diantara siang dan malam. 

Tetapi, petang itu rasanya berbeda. Aku dan segenap pekerjaanku yang menumpuk di pundakku. Sedangkan kamu yang tidak biasanya sudah menunggu di meja di seberang sana. 

Aku mempercepat langkahku sembari menilik jam tangan, "Akh, terlambat .. " aku berucap sambil sedikit terengah-engah. Yah, berlari memang bukan kekuatanku. Tetapi, membuatmu harus menunggu rasanya juga tidak terasa benar. 

Tidak seperti hari-hari biasanya, kamu lebih tergesa untuk cepat keluar dari gedung kantor yang menjulang. Sedangkan, aku yang terlihat lebih kusut harus berlari-lari mengejar waktu - takut kamu menunggu terlalu lama. Aku selalu benci untuk menunggu namun, entah dengan sihir apa, kamu selalu bisa membuat aku tidak pergi ketika kamu terlambat.

"Hai, sorry lama. Tadi dicegat dulu .. " aku menyapa kamu yang langsung tersenyum ketika aku datang. 

"It's ok. Kamu sudah makan kan? Aku tadi sudah pesankan kamu minum." kamu menaruh handphone dalam posisi terbalik. Untuk hal ini, kamu sekarang sudah hafal betul, betapa aku bisa kesal setengah mati jika kamu sibuk dengan segala aktivitas di gadget yang menempel pada tubuhmu. 

"Sibuk ya?" kamu bertanya sambil tersenyum.

Dengan sebuah pertanyaan singkat itu, maka seluruh dayaku akan luluh untuk meluapkan segalanya kepada kamu. Entah ada daya magis apa, yang membuatku begitu lugas untuk menuturkan semua keluh-kesahku. Seakan kamu adalah buku harian yang berjalan dan bernafas - dan hanya akan terbuka untuk diriku sendiriku. 

Maka kamu, dengan segala upayamu akan berusaha membuat aku merasa lebih baik. Dan untukku, bercakap denganmu saja sudah cukup. Tapi, bukan kamu jika hanya berhenti disana. Kamu entah dengan cara apa selalu berupaya untuk membuat aku merasa lebih baik - meyakinkan aku, bahwa aku tidak sendiri. Bahwa semua - hal-hal buruk yang terjadi - pasti akan berakhir.

Tidak berapa lama, sang pramusaji membawakan minuman kita. 

"Wah, jadi kita nge-beer nih?" sahutku sambil mengambil sebotol bir yang sudah terhidang di hadapan kita. 

Kamu hanya tersenyum sambil menyesap bir itu seteguk, "there will be no harm - it's night already."

Maka, hanya dengan itu saja - aku akan terbujuk untuk menikmati sisa malam ini. Mendengarkan semua mimpi-mimpi besarmu; yang secara rahasia mengendap-endap mengetuk pintu ke sebuah kamar kosong dalam kepalaku. Seakan ingin mencemooh - betapa hampanya mimpiku akhir-akhir ini. 

Tapi, dengan cara yang sama pula kamu mencoba untuk meneguhkan aku, "Rebahan mungkin sebuah langkah yang tepat untukmu sekarang - supaya kamu bisa kembali menata langkahmu untuk menaklukkan dunia." Katamu seraya tersenyum.

Dan sembari kamu berucap, dendangan Bruno Major terdengar menggema di ruangan kecil cafe itu, "Just because it won't come easily, doesn't mean we shouldn't try". Seakan seluruh semesta mengamini langkah-langkah yang sedang dan akan kuambil. Dan pada saat itu, rasanya dengan memiliki kamu - maka aku merasa sudah cukup. 

Andai cerita itu bisa berakhir pada malam itu. Di pojok sebuah cafe di kawasan Jakarta yang ramai. Antara aku dan buku harian hidupku - yang dengannya saja, membuatku berani melawan dunia. 

Comments

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...