Sabtu ke - 22
Teh
"Sepertinya ...", ia beralih dari laptop kerjanya dan memandang ke arahku.
"Sepertinya apa?" tanyanya bingung.
Aku bergumam pelan, "I think we should stop seeing each other."
Jari-jarinya yang sedari tadi menari di atas tombol keyboard laptop berhenti. Ia hanya diam saja, sambil mendesah.
Ada sebuah jeda panjang yang cukup kikuk di antara kami. Sampai akhirnya ia menutup layar laptopnya dan meluruskan duduknya menghadap tepat ke arahku.
Jangan.
Rasanya aku ingin menjerit dalam hati.
"Ada apa?" ia tersenyum
Aku luluh.
Ia memegang tanganku, perlahan. Dan, aku pun tidak berusaha untuk mencegahnya.
"I .... like you."
Ia tersenyum, ".. aku tahu." jawabnya singkat sambil meremas tanganku.
Aku merajuk, memintanya untuk menanggapiku dengan serius.
Kopi
Aku tidak pernah menyangka ia akan memintaku untuk berhenti menemuinya. Bagaimana itu bisa dilakukan, ketika ia sudah menjadi sebuah agenda rutinku pada suatu hari Sabtu. Dan, bahkan, hampir 6 bulan ini hampir tidak pernah hari Sabtu ku terisi oleh gelak tawanya. Atau, ceritanya yang lugu -- tentang hidupnya yang selalu menjadi sebuah misteri.
"Aku tahu, I like you too, you know?" aku menjawab erangan rajukannya yang mulai menggemaskan.
Jangan menangis. Aku memohon dalam hati.
"Kamu kan -- akan .. "
"Sudah tidak usah dilanjutkan. Aku tahu kamu mau berbicara apa. Kamu rasa aku tidak adil? Begitu?"
Apa yang kamu tahu tentang adil?
"Jika memang dunia ini tidak mau ada aku di hidup kamu, untuk apa kita pernah bertemu?" aku melanjutkan.
Lama kamu terdiam, menunduk melihat cangkir teh mu yang hanya tinggal setengah. Hingga akhirnya kamu menghela nafas dan menengadah menatap aku.
"Untuk tahu, bahwa kopi tidak selamanya pahit. Bahwa rasa manis dan asam tersimpan di dalamnya. Dan, tahu bahwa teh tidak hanya terasa seperti daun yang ditumbuk - tetapi ada sejuta pesona didalamnya." kamu membuka suara dan mengakhirinya dengan senyum.
"Aku tidak paham." aku memotongnya.
"Aku pun juga tidak. Tetapi, bukan berarti kita tidak tahu bahwa sebenarnya gelas ini sudah habis dan harus dikembalikan bukan?" kamu menutup perkataanmu sambil berdiri menenteng gelas yang masih terisi setengah penuh dan mengembalikannya ke meja pramusaji di depan meja kita.
... dan kamu pergi.
Teh
"Sepertinya ...", ia beralih dari laptop kerjanya dan memandang ke arahku.
"Sepertinya apa?" tanyanya bingung.
Aku bergumam pelan, "I think we should stop seeing each other."
Jari-jarinya yang sedari tadi menari di atas tombol keyboard laptop berhenti. Ia hanya diam saja, sambil mendesah.
Ada sebuah jeda panjang yang cukup kikuk di antara kami. Sampai akhirnya ia menutup layar laptopnya dan meluruskan duduknya menghadap tepat ke arahku.
Jangan.
Rasanya aku ingin menjerit dalam hati.
"Ada apa?" ia tersenyum
Aku luluh.
Ia memegang tanganku, perlahan. Dan, aku pun tidak berusaha untuk mencegahnya.
"I .... like you."
Ia tersenyum, ".. aku tahu." jawabnya singkat sambil meremas tanganku.
Aku merajuk, memintanya untuk menanggapiku dengan serius.
Kopi
Aku tidak pernah menyangka ia akan memintaku untuk berhenti menemuinya. Bagaimana itu bisa dilakukan, ketika ia sudah menjadi sebuah agenda rutinku pada suatu hari Sabtu. Dan, bahkan, hampir 6 bulan ini hampir tidak pernah hari Sabtu ku terisi oleh gelak tawanya. Atau, ceritanya yang lugu -- tentang hidupnya yang selalu menjadi sebuah misteri.
"Aku tahu, I like you too, you know?" aku menjawab erangan rajukannya yang mulai menggemaskan.
Jangan menangis. Aku memohon dalam hati.
"Kamu kan -- akan .. "
"Sudah tidak usah dilanjutkan. Aku tahu kamu mau berbicara apa. Kamu rasa aku tidak adil? Begitu?"
Apa yang kamu tahu tentang adil?
"Jika memang dunia ini tidak mau ada aku di hidup kamu, untuk apa kita pernah bertemu?" aku melanjutkan.
Lama kamu terdiam, menunduk melihat cangkir teh mu yang hanya tinggal setengah. Hingga akhirnya kamu menghela nafas dan menengadah menatap aku.
"Untuk tahu, bahwa kopi tidak selamanya pahit. Bahwa rasa manis dan asam tersimpan di dalamnya. Dan, tahu bahwa teh tidak hanya terasa seperti daun yang ditumbuk - tetapi ada sejuta pesona didalamnya." kamu membuka suara dan mengakhirinya dengan senyum.
"Aku tidak paham." aku memotongnya.
"Aku pun juga tidak. Tetapi, bukan berarti kita tidak tahu bahwa sebenarnya gelas ini sudah habis dan harus dikembalikan bukan?" kamu menutup perkataanmu sambil berdiri menenteng gelas yang masih terisi setengah penuh dan mengembalikannya ke meja pramusaji di depan meja kita.
... dan kamu pergi.
Comments
Post a Comment