Skip to main content

Teh dan Kopi (Part 4)

Sabtu ke - 22

Teh

"Sepertinya ...", ia beralih dari laptop kerjanya dan memandang ke arahku.

"Sepertinya apa?" tanyanya bingung.

Aku bergumam pelan, "I think we should stop seeing each other."

Jari-jarinya yang sedari tadi menari di atas tombol keyboard laptop berhenti. Ia hanya diam saja, sambil mendesah.

Ada sebuah jeda panjang yang cukup kikuk di antara kami. Sampai akhirnya ia menutup layar laptopnya dan meluruskan duduknya menghadap tepat ke arahku.

Jangan.

Rasanya aku ingin menjerit dalam hati.

"Ada apa?" ia tersenyum

Aku luluh.

Ia memegang tanganku, perlahan. Dan, aku pun tidak berusaha untuk mencegahnya.

"I .... like you."

Ia tersenyum, ".. aku tahu." jawabnya singkat sambil meremas tanganku.

Aku merajuk, memintanya untuk menanggapiku dengan serius.


Kopi

Aku tidak pernah menyangka ia akan memintaku untuk berhenti menemuinya. Bagaimana itu bisa dilakukan, ketika ia sudah menjadi sebuah agenda rutinku pada suatu hari Sabtu. Dan, bahkan, hampir 6 bulan ini hampir tidak pernah hari Sabtu ku terisi oleh gelak tawanya. Atau, ceritanya yang lugu -- tentang hidupnya yang selalu menjadi sebuah misteri.

"Aku tahu, I like you too, you know?" aku menjawab erangan rajukannya yang mulai menggemaskan.

Jangan menangis. Aku memohon dalam hati.

"Kamu kan -- akan .. "

"Sudah tidak usah dilanjutkan. Aku tahu kamu mau berbicara apa. Kamu rasa aku tidak adil? Begitu?"

Apa yang kamu tahu tentang adil?

"Jika memang dunia ini tidak mau ada aku di hidup kamu, untuk apa kita pernah bertemu?" aku melanjutkan.

Lama kamu terdiam, menunduk melihat cangkir teh mu yang hanya tinggal setengah. Hingga akhirnya kamu menghela nafas dan menengadah menatap aku.

"Untuk tahu, bahwa kopi tidak selamanya pahit. Bahwa rasa manis dan asam tersimpan di dalamnya. Dan, tahu bahwa teh tidak hanya terasa seperti daun yang ditumbuk - tetapi ada sejuta pesona didalamnya." kamu membuka suara dan mengakhirinya dengan senyum.

"Aku tidak paham." aku memotongnya.

"Aku pun juga tidak. Tetapi, bukan berarti kita tidak tahu bahwa sebenarnya gelas ini sudah habis dan harus dikembalikan bukan?" kamu menutup perkataanmu sambil berdiri menenteng gelas yang masih terisi setengah penuh dan mengembalikannya ke meja pramusaji di depan meja kita.

... dan kamu pergi.

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...