"Apa itu di tangan kamu?"
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan lamunanku. Aku menoleh, memandang sebuah wajah dari mana suara itu berasal.
"Kamu tahu lha, ini apa?" aku menjawab sambil menegak isapan terakhir botol itu.
Aku mengambil botol lain yang kutaruh di belakang punggungku, "mau?" aku menawarkan padanya.
Ia hanya menggeleng.
Aku membuka botol itu dan meminum nya sedikit.
"Jadi, seperti ini rasanya." ia melanjutkan, "mabuk kepayang ya?"
Aku tertawa parau, "aku tidak mabuk. Apalagi hanya untuk mabuk menangisimu."
"Aku tidak pernah bilang kamu sedang menangisi aku," sahutnya.
"Kamu hanya menangisi dirimu yang takut sepi,"
Aku sedikit tersedak mendengar kata-katanya, "sepi ...." bisikku lirih.
Rasanya ulu hatiku semakin tertonjok mendengar kata-katanya.
"Kamu akan baik-baik saja bukan tanpa aku?" ia bertanya sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku.
"Aku akan selalu baik-baik saja," jawabku, "tetapi terkadang kesunyiannya terlalu memekakkan."
Ia menyunggingkan senyum, "Kamu lucu, bagaimana bisa di kota seramai ini, kamu malah selalu merasa sepi."
"Mungkin ini lah bagian yang paling menyebalkan," sahutku.
"Apa itu?"
"Kamu adalah satu-satunya temanku, dan untuk itu aku harus kehilangannya juga." jawabku perih. Aku tegak lagi botol itu hingga habis.
"Kamu sudah terlalu mabuk," ia mengambil botol yang sedari tadi kupegang.
Tanganku bergidik. Dingin.
"Tidak apa," aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Aku hanya akan mabuk hingga aku terbiasa dengan sepi ini." kataku lagi.
Ia menyentuh tanganku, "Malam ini kamu sudah buktikan kamu bisa. Kamu pasti akan baik-baik saja."
"Kamu berusaha terlalu keras untuk meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja. Sungguh, terdengar menyedihkan." aku terdengar ketus ketika mengucapkannnya.
"Aku? Kamu sedari tadi seorang diri, sayang ..."
Aku menoleh ke arahnya, sebuah bangku kosong. Di sampingku ..
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan lamunanku. Aku menoleh, memandang sebuah wajah dari mana suara itu berasal.
"Kamu tahu lha, ini apa?" aku menjawab sambil menegak isapan terakhir botol itu.
Aku mengambil botol lain yang kutaruh di belakang punggungku, "mau?" aku menawarkan padanya.
Ia hanya menggeleng.
Aku membuka botol itu dan meminum nya sedikit.
"Jadi, seperti ini rasanya." ia melanjutkan, "mabuk kepayang ya?"
Aku tertawa parau, "aku tidak mabuk. Apalagi hanya untuk mabuk menangisimu."
"Aku tidak pernah bilang kamu sedang menangisi aku," sahutnya.
"Kamu hanya menangisi dirimu yang takut sepi,"
Aku sedikit tersedak mendengar kata-katanya, "sepi ...." bisikku lirih.
Rasanya ulu hatiku semakin tertonjok mendengar kata-katanya.
"Kamu akan baik-baik saja bukan tanpa aku?" ia bertanya sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku.
"Aku akan selalu baik-baik saja," jawabku, "tetapi terkadang kesunyiannya terlalu memekakkan."
Ia menyunggingkan senyum, "Kamu lucu, bagaimana bisa di kota seramai ini, kamu malah selalu merasa sepi."
"Mungkin ini lah bagian yang paling menyebalkan," sahutku.
"Apa itu?"
"Kamu adalah satu-satunya temanku, dan untuk itu aku harus kehilangannya juga." jawabku perih. Aku tegak lagi botol itu hingga habis.
"Kamu sudah terlalu mabuk," ia mengambil botol yang sedari tadi kupegang.
Tanganku bergidik. Dingin.
"Tidak apa," aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Aku hanya akan mabuk hingga aku terbiasa dengan sepi ini." kataku lagi.
Ia menyentuh tanganku, "Malam ini kamu sudah buktikan kamu bisa. Kamu pasti akan baik-baik saja."
"Kamu berusaha terlalu keras untuk meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja. Sungguh, terdengar menyedihkan." aku terdengar ketus ketika mengucapkannnya.
"Aku? Kamu sedari tadi seorang diri, sayang ..."
Aku menoleh ke arahnya, sebuah bangku kosong. Di sampingku ..
Comments
Post a Comment