Skip to main content

An empty chat room

"Apa itu di tangan kamu?"

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan lamunanku. Aku menoleh, memandang sebuah wajah dari mana suara itu berasal.

"Kamu tahu lha, ini apa?" aku menjawab sambil menegak isapan terakhir botol itu.
Aku mengambil botol lain yang kutaruh di belakang punggungku, "mau?" aku menawarkan padanya.

Ia hanya menggeleng.

Aku membuka botol itu dan meminum nya sedikit.

"Jadi, seperti ini rasanya." ia melanjutkan, "mabuk kepayang ya?"

Aku tertawa parau, "aku tidak mabuk. Apalagi hanya untuk mabuk menangisimu."

"Aku tidak pernah bilang kamu sedang menangisi aku," sahutnya.

"Kamu hanya menangisi dirimu yang takut sepi,"

Aku sedikit tersedak mendengar kata-katanya, "sepi ...." bisikku lirih.
Rasanya ulu hatiku semakin tertonjok mendengar kata-katanya. 

"Kamu akan baik-baik saja bukan tanpa aku?" ia bertanya sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku. 

"Aku akan selalu baik-baik saja," jawabku, "tetapi terkadang kesunyiannya terlalu memekakkan." 

Ia menyunggingkan senyum, "Kamu lucu, bagaimana bisa di kota seramai ini, kamu malah selalu merasa sepi." 

"Mungkin ini lah bagian yang paling menyebalkan," sahutku. 

"Apa itu?"

"Kamu adalah satu-satunya temanku, dan untuk itu aku harus kehilangannya juga." jawabku perih. Aku tegak lagi botol itu hingga habis. 

"Kamu sudah terlalu mabuk," ia mengambil botol yang sedari tadi kupegang. 

Tanganku bergidik. Dingin. 

"Tidak apa," aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. 

"Aku hanya akan mabuk hingga aku terbiasa dengan sepi ini." kataku lagi.

Ia menyentuh tanganku, "Malam ini kamu sudah buktikan kamu bisa. Kamu pasti akan baik-baik saja."

"Kamu berusaha terlalu keras untuk meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja. Sungguh, terdengar menyedihkan." aku terdengar ketus ketika mengucapkannnya. 

"Aku? Kamu sedari tadi seorang diri, sayang ..."

Aku menoleh ke arahnya, sebuah bangku kosong. Di sampingku .. 


Comments

Popular posts from this blog

Mr.B

B  : You change your hair. Me : Wooow! You noticed? >o< B  : It's hard not to. Me : Nobody else said anything bout it. * blink* Aku merasa sedikit terperanjat karena tanda lingkaran hijau di samping namanya tidak lagi menyala. Ada sedikit rasa pedih membersit, ketika tiba-tiba nama itu tidak lagi muncul di layar telepon genggamku.  Aku menunggu beberapa saat kemudian, berharap nama itu kembali menyala dan membalas apa yang sudah aku katakan. Aku hanya menggigit ujung bibirku dan mematikan ponselku seraya memasukkannya ke dalam tas.  Hari ini hujan dan aku lupa membawa payung. Sial . Aku mengumpat dalam hati dan berlari menembus hujan kota Jakarta, menuju halte TransJakarta yang berjarak seratus meter dari pintu gedung kantorku.  ... Aku melempar lembaran tissue ke sepuluh yang sudah aku gunakan ke dalam keranjang sampah di belakangku. Not the time to get sick! Aku kembali bersumpah serapah dalam hati. Merasa menyesal karena...

one missed birthday

Ring . ring . Pukul 06.00. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Bingung karena tak merasa memasang alarm yang akan membangunkanku di pagi buta ini. Kuraih handphone mungil itu dan melihat tulisan di layarnya. Yagh, memang bukan alarm. Hanya reminder. ‘Sarah’s birthday.’ Dengan segera aku buka phonebookku yang sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak nama yang terpampang disana. Ada! Nomor telepon Sarah di negeri seberang itu. Tapi, masihkah ia menggunakan nomor ini? Kuurungkan niatku dan segera menuju menuju shortcut Facebook dan mencari namanya diantara 1000 nama lainnya. Tidak ada! Aku mencoba membuka semua foto dan notes mengenai dia. Tidak ada! Kemana dia? Namun ternyata rasa penasarannya termakan oleh rasa kantuk yang masih luar biasa. Aku kembali tertidur dan melupakannya dengan segera. Siang ini sepi. Aku hanya duduk sendiri di area kampus yang selalu bisa membuatku tidak merasa sendiri walaupun pada kenyataanya tempat itu memang sepi. Terl...

"Maaf, apakah saya mengenal Anda?"

Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang meracau ketika aku tengah terbangun. Ikut terdiam ketika aku butuh untuk dinina-bobokan. Aku membencinya karena ia datang ketika aku tidak menginginkannya. Membuatku terjaga dengan kepala berat, Dan sungguh, itu menyebalkan. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara gaduh di luar sana. Yang dengan sekejap mata bisa membuat aku melayang tinggi ke surga. Tapi, dengan tak kalah cepat membuat aku jatuh hingga terpeleset masuk ke dalam kubangan. Sungguh keparat! Aku ingin membunuhnya. Suara-suara kacau. Berisik! Hingga ingin aku berteriak di telinganya, "Siapa Anda berani meracau di tiap hari saya?". Aku seperti orang tuli yang ingin mendengar. Aku seperti pencipta orkestra yang membenci biola. Aku seperti orang linglung di tengah orang-orang jenius. Dan, aku benci keadaan itu. Aku ingin membunuhnya. Suara-suara yang membuatku merasa demikian. Aku ingin membunuhnya. Suara yang membuat hati ini bergejolak. Ingin muntah. Ingin lari. Ingin hilang. Hin...