"Keretanya terlambat," teriakmu dari kejauhan. Aku tergelak, terangun dari lamunan singkat.
"Oh ya?" aku beranjak berdiri. Kamu sudah berdiri lagi di depanku dengan muka ditekuk dan bibir yang manyun.
"Iya .. aku nggak paham katanya tadi masih tertahan di Surabaya atau gimana gitu." kamu menjatuhkan badanmu di kursi tunggu yang keras.
Hari ini kamu tampak sangat bersemangat untuk pergi. Aku tidak pernah paham, kenapa kamu ingin pergi. Karena rumahmu bukan lagi di Jakarta, tetapi disini.
"Mungkin ini pertanda loh," aku membuka suara.
"Hmm?"
"Iya, pertanda bahwa memang kamu tidak boleh pergi. Toh untuk apa sih? Dua minggu lagi kan kita sudah mulai kuliah lagi."
"You know exactly why .. " kamu menonjok lenganku perlahan.
"Running away is never the answer, kan?"
"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku .." kamu menghela nafas panjang.
Ya, aku memang tidak tahu. Just tell me ..
Aku ingin membuka suara tetapi aku urungkan niatku untuk memintanya bercerita.
"Rasanya kayak ditonjok berulang-ulang lowh," kamu tertawa getir.
"Kamu udah cocok sih jadi samsak." aku menggodanya, berharap kalau kamu tertawa oleh ledekan recehku.
"Nggak fair kalo yang komentar badannya cuma segede tusuk gigi," ia terbahak-bahak sendiri.
Lama akhirnya kita terdiam setelah kamu tertawa begitu puasnya. Aku ingin membuka suara tetapi, andai aku tahu darimana aku harus memulai memecahkan keheningan ini.
"Kamu itu manusia yang insecure, tahu nggak?"
Aku menengadah menegok ke arah wajahnya, "Eh, kok aku diserang begini?"
"Aku nggak pernah melihat kamu punya perasaan."
"Semacam batu gitu?" tanyaku tak paham.
Kamu menggeleng perlahan, "bukan .. Kamu hanya membentengi perasaan kamu dengan dinding yang luar biasa tinggi dan tebal. Terkadang aku susah membaca kamu,"
"Wajar .. Aku bukan buku," suaraku berubah menjadi sedikit defensif.
"Kamu harus membuka dirimu untuk orang lain lowh, doesn't have to be me. At least you won't be so miserable like this."
"Hei? Siapa yang miserable?" sedikit tersinggung aku mendengar kata-katanya.
Namun, belum sempat kusanggah perkataannya, tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa kereta menuju Jakarta akan segera tiba di stasiun ini.
"Aku mau tanya dulu, aku bisa nebeng kereta ini atau enggak." kamu tiba-tiba berdiri dan berlari menuju petugas stasiun yang sedang berjaga. Hanya beberapa menit kamu berbicang, dan kamu sudah kembali lagi berlari ke arahku.
"Aku bisa nebeng kereta ini, karena keretaku entah bakal nyampe kapan," kamu berkata sambil menarik tas ransel di sampingku.
"Jangan," aku menarik tas ransel tersebut. "Naik yang nanti saja, aku masih belum paham yang kamu maksud." sahutku kemudian.
"Aku mau pulang. Nggak usah mikirin omonganku tadi. Aku ngelantur kok," sahutmu sambil tersenyum.
Dan .. kamu berlari menuju kereta yang datang. Meninggalkan aku sendirian di pinggir peron stasiun yang mendadak terasa begitu sepi.
Jogja, peghujung tahun 2010
"Oh ya?" aku beranjak berdiri. Kamu sudah berdiri lagi di depanku dengan muka ditekuk dan bibir yang manyun.
"Iya .. aku nggak paham katanya tadi masih tertahan di Surabaya atau gimana gitu." kamu menjatuhkan badanmu di kursi tunggu yang keras.
Hari ini kamu tampak sangat bersemangat untuk pergi. Aku tidak pernah paham, kenapa kamu ingin pergi. Karena rumahmu bukan lagi di Jakarta, tetapi disini.
"Mungkin ini pertanda loh," aku membuka suara.
"Hmm?"
"Iya, pertanda bahwa memang kamu tidak boleh pergi. Toh untuk apa sih? Dua minggu lagi kan kita sudah mulai kuliah lagi."
"You know exactly why .. " kamu menonjok lenganku perlahan.
"Running away is never the answer, kan?"
"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku .." kamu menghela nafas panjang.
Ya, aku memang tidak tahu. Just tell me ..
Aku ingin membuka suara tetapi aku urungkan niatku untuk memintanya bercerita.
"Rasanya kayak ditonjok berulang-ulang lowh," kamu tertawa getir.
"Kamu udah cocok sih jadi samsak." aku menggodanya, berharap kalau kamu tertawa oleh ledekan recehku.
"Nggak fair kalo yang komentar badannya cuma segede tusuk gigi," ia terbahak-bahak sendiri.
Lama akhirnya kita terdiam setelah kamu tertawa begitu puasnya. Aku ingin membuka suara tetapi, andai aku tahu darimana aku harus memulai memecahkan keheningan ini.
"Kamu itu manusia yang insecure, tahu nggak?"
Aku menengadah menegok ke arah wajahnya, "Eh, kok aku diserang begini?"
"Aku nggak pernah melihat kamu punya perasaan."
"Semacam batu gitu?" tanyaku tak paham.
Kamu menggeleng perlahan, "bukan .. Kamu hanya membentengi perasaan kamu dengan dinding yang luar biasa tinggi dan tebal. Terkadang aku susah membaca kamu,"
"Wajar .. Aku bukan buku," suaraku berubah menjadi sedikit defensif.
"Kamu harus membuka dirimu untuk orang lain lowh, doesn't have to be me. At least you won't be so miserable like this."
"Hei? Siapa yang miserable?" sedikit tersinggung aku mendengar kata-katanya.
Namun, belum sempat kusanggah perkataannya, tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa kereta menuju Jakarta akan segera tiba di stasiun ini.
"Aku mau tanya dulu, aku bisa nebeng kereta ini atau enggak." kamu tiba-tiba berdiri dan berlari menuju petugas stasiun yang sedang berjaga. Hanya beberapa menit kamu berbicang, dan kamu sudah kembali lagi berlari ke arahku.
"Aku bisa nebeng kereta ini, karena keretaku entah bakal nyampe kapan," kamu berkata sambil menarik tas ransel di sampingku.
"Jangan," aku menarik tas ransel tersebut. "Naik yang nanti saja, aku masih belum paham yang kamu maksud." sahutku kemudian.
"Aku mau pulang. Nggak usah mikirin omonganku tadi. Aku ngelantur kok," sahutmu sambil tersenyum.
Dan .. kamu berlari menuju kereta yang datang. Meninggalkan aku sendirian di pinggir peron stasiun yang mendadak terasa begitu sepi.
Jogja, peghujung tahun 2010
Comments
Post a Comment