Skip to main content

Another classic story of me .. about me wanting to be happy.

Beberapa tahun yang lalu, seorang sahabat bertanya kepada saya, "Apa yang kamu mau?", sebagai seorang bocah yang baru memulai usia dewasa awal dengan mudah saya berkata kalau saya mau bahagia. Absurd. Tapi terkadang apa yang saya inginkan tidak selamanya memang seabsurd yang saya utarakan.

Semalam, saya kembali tidak bisa tidur. Permasalahan klasik yang selalu saya alami pada masa-masa liburan dan berada di rumah. Untuk kembali ke rumah sebenarnya bukanlah pilihan, tetapi paksaan. Sebuah konsekuensi dari tanggung jawab yang saya ambil untuk menempuh pendidikan magister yang biayanya sudah kelewat sinting luar biasa. Tapi, apa boleh dikata, jaman sekarang sepertinya memang sudah tidak ada lagi kata murah. Untuk kembali ke rumah, saya butuh beribu-ribu cara untuk membiasakan diri. Berada di sekitar banyak orang dan tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli, karena sekarang saya menghuninya lagi. Terbiasa untuk hidup secara soliter di ruangan 3x4m selama 5 tahun, membuat saya kesulitan untuk beradaptasi terlebih dengan berbagai macam kondisi yang cukup berbeda dari 5 tahun yang lalu, karena pada saat itu (tahun lalu), saya menanti seorang keponakan.

Berada di Bogor lagi, seharusnya membawa saya untuk kembali dekat dengan teman-teman yang selama ini hanya saya temui setiap saya liburan ke kampung halaman. Menarik, karena ketika saya sudah permanen menetap disini, bisa dihitung dengan jari berapa banyak saya sudah bertemu mereka, and somehow it doesn't even matter at all. Lucu, karena ternyata saya malah terlalu sibuk untuk membuat jadwal pertemuan dengan teman-teman semasa S1 yang sudah mulai merantau ke ibukota. 

Dulu, saya berpikir, menjadi bahagia itu berarti keluyuran hingga tengah malam dengan teman-teman tanpa paper dan makalah yang membuat saya takut setengah mati apabila tidak dapat nilai minimal B+.
peduli besok mau masuk kuliah apa. Hari ini? Setengah mati saya harus membiasakan pantat untuk duduk di depan meja komputer dan mengerjakan ribuan

Dulu, bahkan hingga tadi malam saya masih berilusi bahwa being happy is simply just to run your ass off along the shore and see the stars with a bunch of friends and lough till the sun rise again.

Kemudian, saya bertemu lagi dengan sahabat saya beberapa bulan yang lalu, pertemuan selama satu jam tanpa persiapan itu akhirnya membuat saya mendengar sahabat saya mengaku, "Lu bisa bayangin orang kayak gue mesti masuk kantor jam 8 sampe 5 sore dengan pakaian rapi kantoran?". Somehow it sounds funny, couldn't ever imagine him like that before. But that's life, reality force you to do something that you thing you aren't but it provides you cost to live.

Menarik .. hingga pada tadi malam, saya masih mencoba menghitung-hitung tabungan saya yang tidak kunjung bertambah, mencoba berharap saya masih bisa merasakan sedikit liburan dibulan ke-delapan nanti di Pulau Dewata dengan teman-teman. Tapi kemudian, saya kembali berpikir, "is it really can make me feel happy again?"

Saya mencoba berefleksi, apakah kemudian saya menjadi tidak bahagia. Apakah kemudian, mimpi-mimpi yang saya titipkan pada sahabat-sahabat saya sudah semakin memudar. Hingga 3 tahun yang lalu, saya masih merasa bahwa Tuhan itu tidak adil karena membuat saya untuk 'terpaksa' memujaNya tidak seperti yang saya harapkan. Hingga 1 tahun yang lalu, saya masih merasa bahwa menjalin hidup dengan orang lain adalah mimpi buruk, bahwa komitmen itu adalah bom waktu yang suatu saat pasti meledak. Tapi, hingga tadi malam saya kemudian menyadari satu hal. Perjalanan saya kembali ke rumah bukan berarti saya mematikan mimpi-mimpi besar saya, tetapi merupakan sebuah langkah dimana saya berusaha untuk belajar bahagia dengan berkompromi.


Kembali ke rumah membuat saya sadar betapa menyenangkannya mempunyai ponakan yang luar biasa menggemaskan. I wouldn't trade the time I've spent with him for nothing. Belajar lagi di jenjang pendidikan ini membuat saya sadar betapa banyaknya orang-orang hebat di luar sana dan betapa luasnya pengetahuan yang ada, yang membuat saya semakin mantap untuk tetap berada di jalur ini, menjadi akademisi dan kelak menjadi proffesor (amin!). Menjalin hubungan dengan orang yang sama selama 3.5 tahun ini, membuat saya sadar bahwa sendirian tidak lagi membuat saya bahagia, berasama dia saya lebih merasa utuh. 

Kemudian saya tersadar, saya tidak lagi mencoba untuk menggapai mimpi-mimpi besar seperti dulu lagi. Kini mimpi-mimpi saya menjadi lebih terkopromi dengan perencanaan yang lebih baik. Menariknya, saya tidak lagi merasa takut untuk mengajak orang lain merajut mimpi tersebut bersama-sama, tidak hanya dengan kekasih tetapi juga dengan para sahabat. 

Saya masih tetap ingin menyanyi. Saya masih tetap ingin membuat bakery. Saya masih ingin kuliah di luar negeri dan mendapat gelar ph.D. Saya masih ingin membuat sekolah. Saya masih ingin membuat mimpi-mimpi besar lainnya .. namun saat ini, saya bermimpi tidak sendirian. Saya sekarang sadar bahwa dengan membuat orang di sekitar saya bahagia, secara ajaib saya juga merasa bahagia.

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...