Skip to main content

surrender, Gita ....



"Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere?
Or would it be a waste even if I knew my place
Should I leave it there?
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere?" 
(Adele - Chasing Pavements)





October 1st 2012
2.48 a.m

Kesekian kalinya, saya membuka blog ini. Menatap layarnya. Berharap punya sedikit muse untuk dapat dituangkan dalam sebait-dua bait cerita yang bisa membuat orang berkata, 'wow'. Dan, sekali lagi, ternyata tidak bisa untuk mendapatkan perasaan yang sama dengan tahun lalu. Seakan-akan sudah tidak ada lagi 'dorongan' yang memotivasi untuk bisa menulis bagus. Tidak ada lagi kompetisi. Seakan-akan tidak ada lagi orang yang akan sengaja mampir untuk membaca sederetan 'gombalan' saya dan mengomentari atau hanya sekedar mengejek isinya. Tidak ada lagi yang membuat semuanya terlihat menarik. The firework has done its job and leave the dark night alone.

Selagi saya menulis ini, saya berulang-ulang memutar lagu The Fray - Never Say Never. Kenapa? Mungkin saya terngiang-ngiang dengan kata-kata, 'don't let me go' yang diucapkan berulang-ulang di lagu itu. Seakan-akan saya lagi memohon kepada seseorang atau 'sesuatu' untuk tidak melepaskan saya. Seperti bagaimana saya ingin sekali merasa bahwa saya adalah bagian dari sesuatu yang besar dari sebuah kecil dan saya dibutuhkan di dalamnya. Seperti saya tidak mau ditinggalkan dan dilupakan begitu saja seperti halaman-halaman history browse yang langsung di delete karena memang sudah tidak penting untuk diselami lagi.

Mungkin, ketika orang mulai membaca tulisan ini, mereka akan mulai merasa bahwa saya hanya melantur. Bahwa saya ini hanya seorang bayi rewel yang minta diperhatikan.But guess what? I know that for sure.

Ini tahun yang berat untuk saya. I know it's not the end of the year yet, but ... I just felt that this past 9-10 months really driving me nuts!

Saya memulai tahun ini dengan perjuangan 'iman' yang sungguh luar biasa. Dimana sepertinya 'tuhan' sendiri tidak membantu saya untuk merasa lebih baik. Dimana saya sama sekali tidak menemukan uluran tangan seperti yang diceritakan di kitab-kitab. Waktu dimana akhirnya saya harus terpaksa memilih dan bukan akhirnya memilih. Berkali-kali saya mencoba untuk mendenial perasaan itu, berpikir bahwa semua ini akan menjadi lebih baik. Mencoba meyakini diri saya sendiri bahwa kebahagiaan itu sendiri terkadang tidak datang dalam bentuk pilihan, tetapi kewajiban. Kewajiban untuk menjadi apa yang orang lain harapkan. And after 9 months, saya masih kembali mempertanyakan, kenapa 'tuhan' memainkan saya di peran seperti ini. 

Beberapa orang pernah berkata pada saya kalau saya tidak cukup berdoa. Tapi, saya yakin saya tidak perlu menjadi orang yang menghafal ritual untuk dapat berbicara dengan 'seseorang' yang tidak bisa kita lihat. Karena 'dia' yang saya tahu, akan mengerti tanpa saya menggunakan bahasa yang sama.

Ketika hak yang paling asasi itu telah direbut dari saya, saya kembali lagi dikecewakan oleh diri saya sendiri. Oleh diri saya yang tidak bisa membuat mimpi-mimpi saya menjadi nyata. Setiap kali saya melihat serial Glee, saya sering meyakini bahwa diri saya adalah Rachel yang memiliki hasil tes inventori dengan level Achievement yang luar biasa tinggi. Tapi, saya hanya versi the dreamer, dan bukan the dream maker. Mengecewakan diri saya sendiri karena target 3.5 tahun itu tidak terpenuhi dengan begitu banyak rasionalisasi. Mencoba menanamkan diri saya sendiri bahwa apa yang sudah saya capai sampai sejauh ini belum tentu dikejar oleh orang lain. Tetapi, mengapa saya begitu teledor untuk membiarkan mimpi itu melorot begitu saja? Dan, oh God, ketika saya membuka kembali resolusi saya (which turns out, nggak pernah saya buka) saya terlalu takut untuk menemukan bahwa banyak resolusi yang tidak saya selesaikan, bahkan mendekati. Lebih parahnya mungkin, ketika saya kemudian menyadari bahwa nilai saya bisa lebih baik dari apa yang sudah saya capai. Seriously, I'm tired of being disappointed

Belum lagi masalah ABCD yang bukan merupakan urusan saya yang ternyata nggak bisa saya tinggalakan begitu saja. Saya merasa terkadang saya terlalu peduli dengan urusan yang bukan urusan saya. Tapi, saya kemudian bertanya, sampai dimana saya akan merasa tidak peduli. Dan, ketika saya mulai tidak peduli, saya akan merasa semakin bersalah. 

Mungkin ..
Mungkin ini saatnya saya menyerah, menyerah dari semua ambisi untuk menjadi sempurna untuk semuanya.  Untuk diri saya. Untuk orang yang paling menuntut, saya. Untuk menyerah bahwa masa lalu dan apa yang sudah terjadi tidak akan pernah bisa kembali. Untuk merelakan yang sudah pergi dan menyadari bahwa I can't, and it's possible to pleased everyone.

Untuk mencari teman lain yang bisa berbagi cerita ini, yang mau mendengar tanpa menghakimi. 
Untuk mencari teman .... teman yang bisa saya telepon jam berapa pun dan tetap terbangun untuk tidak mengeluh akan sakit kepala atau betapa beratnya masalah kuliah.
Mencari seseorang yang bisa benar-benar membuat saya menyerah, surrender...


..... and yes, I wrote this post while crying on my late-night browsing hour. Wishing that someone just come up and text me or call me, then tell me that it's okay to surrender.. and yes, sometimes we have to be ready to suffer and yet make a new comeback as a better person . And, yet, my dream isn't over yet .. and tell me, "screw them, you still have that amazing voice even though there will be people who said that someone's better or even being better in English, because you are more than just better, you own it as if it's yours without living in that western place and getting trained in NYADA. Because you have that enormous dream that no one else would dare to dream." 


... let go, Gita
 surrender, Gita ...

Comments

  1. perna dger unwell-nya matxhbox 20 neng gheetha??
    sumtimes,semua bisa jd ngga masuk dalam logic pikiran kita..
    lebih pada dari sisi mana kita melihat..
    :D
    I can't be a good advicer, but i think i can to be a good listener..
    Speak up gurlz, n' keep struggle!!
    ^-^

    ReplyDelete
    Replies
    1. ferdooonq ...
      makasii yaa ..
      so glad to know that u'll be there ..
      yuk marii dgrin unwell abis itu fix you'nya coldplay :p

      Delete
  2. i just feel the same... don't give up..
    mari kita mendengarkan lagu Adele "someone like you"
    nahh lho??

    ReplyDelete
    Replies
    1. never mind i'll find someone like you?
      hehehehe ..

      olee2 dr kalimantan jgn lupa!!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil