Dia diam termanggu dengan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya saat itu. Di hadapan segelas coklat dingin yang kian mencair dan ditengah mata yang sedang mencari jawaban atas sebuah pertanyaan yang sederhana.
“Jadi, mau kamu sekarang apa?” tanya lelaki itu sekali lagi.
“Uh,” dia terdiam sejenak. Matanya mencari-cari sebuah jawaban yang sebelumnya belum pernah terpikirkan sama sekali.
Sial. Batinnya dalam hati.
“Aku mau liburan. Tapi, aku juga nggak mau kesibukan ini berakhir. Aku pengen ngejalanin sesuatu yang aku tahu nggak akan berdampak dan beresiko apa-apa untukku nanti.” Jawabnya kemudian.
Lelaki itu tersenyum licik, “Sama saja kamu bilang kamu ingin bahagia. Konkritnya seperti apa? Jawaban kamu itu abstrak.”
Sial. Batinnya sekali lagi.
Mungkin ini adalah pertanyaan yang selama ini ingin ia hindari. Bahkan mungkin untuk dirinya sendiri. Terlebih saat orang lain menanyakan hal tersebut seakan-akan hanya bertanya, “Kamu mau makan apa?”. Tidak, tidak semudah itu. Terlalu rumit untuk dirumuskan, atau mungkin kepalanya saja yang sudah lelah untuk berdebat dengan keinginan hati ini.
“Udah. Jadikan itu refleksi untuk dirimu sendiri malam ini. “ ujar lelaki itu sekali lagi sambil meneguk tetesan terakhir coklat hangatnya.
Sambil tersenyum miris, ia mengangguk, menyanggupi permintaan lelaki itu. Bingung akan jawaban lain selain anggukan dan sebuah senyuman. Namun, tetap saja pertanyaan itu kembali mengguncang benaknya yang sudah sekian lama kosong dan berdebu.
Apa yang ia mau? Apakah memang jalan ini yang sebenarnya ia inginkan? Jikapun iya, mengapa banyak sekali keluhan yang ia lontarkan hari-hari ini?
Dengan gontai ia melangkahkan kaki menuju luar dan menatap langit yang semakin gelap dan tertutup awan malam itu.
“Aku selalu suka jalan-jalan waktu malam hari. Mungkin itu ambisi yang baru tercapai saat ini, karena hampir seluruh hidupku aku terkekang di dalam rumah dan tidak pernah merasakan nikmatnya keindahan malam.” Ia kembali berujar pada lelaki itu.
Ia tersenyum sendiri, memang malam itu indah. Dan betapa lamanya ia harus menyadari keindahan itu. 20 tahun ia butuhkan untuk dapat merasakan keindahan itu tanpa lagi terkungkung dalam sangkar besi yang mengikatnya. Tapi, inikah yang sebenarnya ia inginkan. Bahagiakah ia dengan merasakan semua itu?
Terkadang, manusia itu selalu berteriak-teriak minta kebebasan, namun mereka mulai kehilangan arah saat terlepas dari belenggu-belenggu yang mengekang mereka. Mereka bingung akan arah dan tujuan mereka. Mereka tidak punya tuntunan. Mereka tidak tahu apa yang mereka ingin capai dan tuju. Mungkin, itu juga yang ia rasakan. Kebimbangan akan arah saat tidak ada lagi penunjuk jalan yang dengan gratis menunjukkan arah dan jalan yang harus ia lalui.
Banyak hal sudah ia lakukan. Banyak pula kesenangan dan kesedihan yang sudah ia lampaui. Tapi, saat ia bertanya lagi kepada dirinya mengenai apa yang dia inginkan, mungkin ia masih belum bisa menjawab.
“Teman itu adalah tempat dimana kamu bisa menitipkan mimpi-mimpi kamu. Jadi, saat suatu hari nanti kamu kehilangan arah, teman-temanmu lah yang nantinya akan mencoba untuk mengingatkan kamu akan mimpi-mimpi yang harus kamu capai.” ia bergumam pada lelaki itu, memohon agar lelaki itu mau dititipkan seonggok mimpi-mimpi liar.
Berharap bahwa dengan banyak berbicara dan bercerita ia dapat menemukan jawaban atas apa yang ia mau, ia semakin bertekad untuk membuat banyak mimpi. Iya, mungkin saat ini ia terbunuh dengan pertanyaan itu. Mungkin saat ini bukan saat yang tepat untuk maju dan berani menjawab pertanyaan itu. Tapi, saat ia kembali belajar untuk lebih banyak bermimpi, ia juga semakin banyak belajar untuk meraihnya. Meraih apa yang ia mau.
Dan ketika nanti lelaki itu kembali datang, mengingatkannya akan titipan mimpi dan juga sebuah pertanyaan, ia akan dengan mantap menjawab.
“Aku tahu apa yang aku mau!” dan ia tidak lagi terbunuh karena sebuah pertanyaan. Tapi, pada akhirnya nanti ia yang akan menguasai pertanyaan itu, dan lelaki itu akan puas dengan jawabannya.
Comments
Post a Comment