Skip to main content

Autism Awareness Day

Happy autism awareness day!

Setelah lama tidak pernah lagi membuka catatan kecil ini, lalu tiba-tiba jadi rindu untuk menulis. Bukan karena sudah tidak ada lagi ide-ide yang meracau di kepala, tetapi karena ide-ide tersebut selalu muncul di saat yang tidak tepat. Contohnya saja ketika tiba-tiba saya lagi mau tidur dengan perlengkapan tidur yang sudah mantap, lalu pikiran melayang kemana-mana, jadi agak malas rasanya untuk membuka komputer dan membiarkan jari-jari ini menari.

Anyway .. hari ini sebenarnya adalah hari yang cukup menarik untuk saya. Today is Autism Awareness Day! Banyak teman-teman saya yang memposting beberapa gambar-gambar mengenai event hari ini. Adapula yang tidak lupa menambahkan kalimat-kalimat "Autism is not a joke"


Apa sih maksudnya?

Sebenarnya lebih kepada penggunaan kata 'autis' yang seringkali merujuk pada perilaku orang yang suka 'asik sendiri dengan dunianya'. Jadi, tidak jarang pula orang-orang akan berceletuk, "Ngautis aja loe!"

Yah, emang salah ya kalau pake kata-kata itu? 'Kan becanda kali .. sensitif amat .. Hahahaha ..

Well, it's not that simple

Menariknya, banyak orang yang mengingatkan orang lain bahwa pada hari ini, mari yuk jangan pakai sebuah 'label' untuk mengata-ngatai orang lain. Actually it's never okay to calling others names. Jadi, bukankah sebenarnya setiap hari kita mencoba untuk mengingatkan orang lain dan diri kita sendiri untuk tidak mengejek orang lain dengan memanggil dengan sebutan yang tidak pantas?

Untuk saya pribadi, saya sebenarnya lebih ingin mencoba untuk mengingatkan pada diri saya sendiri dan juga orang lain untuk sebenarnya lebih aware dengan munculnya gangguan spektrum autisme itu sendiri. Toh, we call it autism awareness day, right? 

Banyak sekali sebenarnya kasus-kasus autisme yang terjadi dan tidak mendapatkan pembinaan yang tepat sedari awal. Sebagai mahasiswa psikologi, tentunya saya jadi cukup kepo dengan masalah ini karena mempelajari autisme adalah bagian dari pelajarannya. Tetapi, yang menarik adalah masih banyaknya orangtua dan juga keluarga yang belum menerima gangguan ini dan malah mencoba untuk menyembunyikannya seakan-akan autisme adalah aib. Saya sendiri juga tidak bisa menghakimi perbuatan orang-orang tersebut, karena sejujurnya saya juga nggak tahu bagaimana rasanya punya putra/i yang mengalami autisme (lha nikah juga belom). Tapi, saya punya keyakinan bahwa mereka melakukan itu karena mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi. Jadi, sangat wajar apabila mereka malah menganggap hal tersebut sebagai hal yang tidak patut untuk ditunjukkan ke orang lain. Nah, as a person who learn psychology and know a little bit about it, saya merasa bahwa saya memiliki tanggung jawab untuk memberikan wawasan bagi orang lain mengenai gangguan tersebut dan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk menghadapinya. Tentunya, karena saya bukan mahasiswa profesi psikologi apalagi Psikolog, saya seringkali hanya menganjurkan orang-orang tersebut untuk berkonsultasi kepada pakarnya alih-alih saya sok jadi orang yang serba tahu. 

Nah, kalau ada orang-orang yang tidak mengerti mengenai gangguan ini, tentunya sudah tidak heran lagi. Hal yang menarik untuk saya adalah orang-orang yang tidak mengerti tapi pura-pura mengerti dan sok tahu. Ini rasanya kayak minta digebok pake high heels

Istilah-istilah seperti autis atau hyperactive dewasa ini semakin familiar terdengar di telinga kita. Bahkan, tidak jarang banyak pula artikel-artikel psikologi popular yang menuliskan berita mengenainya. Masyarakat tentunya menjadi lebih aware, which is good, tapi di sisi lain seringkali istilah-istilah itu jadi dipakai untuk melabeli seseorang dan menjudge bahwa seseorang mengalami gangguan tertentu. Singkat cerita, saya dengar dari seseorang bahwa ada orangtua yang dipanggil oleh gurunya dan gurunya langsung memberikan berlembar-lembar kertas print-printan dan brosur mengenai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) lalu serta merta si guru bilang kalau anak dari orangtua tersebut terkena gangguan ADHD atau hiperaktif karena di kelas tidak mau menurut seperti teman-temannya. Lalau meminta orangtua tersebut untuk membawa anak itu ke psikolog. Yah, si guru ada benarnya sih untuk merekomendasikan psikolog, tapi yang bikin gemes itu adalah mudahnya si guru menilai dan mengutarakan secara langsung di depan orangtuanya, "Eh, anak loe hiperaktif." Dugh, gimana yaa .......

Bukan maksud saya untuk melarang guru meminta orangtuanya lebih memperhatikan anaknya, tetapi saya rasa ada cara lain yang lebih baik apabila merasa seorang murid tidak mampu mengikuti pelajaran di kelas. Oh yeah, by the way the student is still in preschool. Saya rasa dengan cukup mengutarakan, "Pak/Bu, anak Anda kalau di kelas masih belum bisa mengikuti pelajaran, seperti .. blablabla .. Apakah di rumah juga mengalami hal yang sama?" daripada langsung menembak dengan istilah ADHD. Bayangkan betapa terpukulnya si orangtua yang mendengar berita seperti itu dari guru si anak yang sebenarnya belum tentu terbukti kebenarannya.

Tentu saja disini sih permasalahannya tidak saya tepuk rata pada guru saja, tetapi orang awam kebanyakan juga seringkali begitu. Contoh lain, saya pernah dengar cerita juga ketika ibu-ibu sedang arisan lalu ada salah seorang anak dari ibu-ibu tersebut yang memang tidak bisa diam, lalu dengan mudah teman si ibu tersebut berkata, "Anak loe hiperaktif kali, nggak bisa diem." Dugh ... omongannya, buuuuk ... The kid itself is only 3

Yah .. hal-hal semacam itu sebenarnya yang masih bikin saya gatal. Ketika banyak orang sudah mulai aware dengan munculnya gangguan-gangguan itu, eh orang-orang juga jadi latah menggunakan istilahnya. 

Saya sendiri, masih sangat takut lowh untuk menilai anak-anak. Tidak jarang banyak teman saya yang suka tanya-tanya sama saya (dikira saya mahasiswa profesi), saya sendiri tidak berani jawab macam-macam, saya cuma minta aja mereka untuk datang ke Klinik Terpadu kampus saya, daripada saya salah jawab.

Nah, mungkin sekarang kita sedikit berhenti sejenak yuk sebelum menjudge seorang anak dengan label tertentu. Psikolog aja butuh beberapa puluh jam observasi untuk bisa memberi kesimpulan semacam itu, nah siapa kita yang berani nyeletuk dengan mudahnya dan membuat orang lain merasa tidak nyaman? 

Comments

Popular posts from this blog

akhirnya, aku yang pergi ...

Pagi itu, tepat pukul 8 pagi. Waktu yang ia janjikan untuk pergi menunaikan kewajiban kami setiap minggu. Aku sudah sampai di depan rumahnya. Ada 3 mobil terparkir di halaman rumahnya, pasti itu milik teman-temannya, yang aku asumsikan telah menginap di rumahnya semalaman ini. Tidak heran kalau telepon selularnya tidak ia angkat. Aku beranjak menuju pintu depan dan dengan mudah aku bisa masuk ke dalamnya. Ternyata tidak terkunci. Aku masuk kedalam dan melihat sebuah pemandangan yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Sebuah transformasi dari sebuah rumah mewah bergaya minimalis, hasil keringatnya sendiri, menjadi sebuah kapal pecah yang penuh dengan laki-laki yang tertidur topless dan berbau alkohol. Aku tidak bisa menemukan dirinya di ruang tamu itu, kuasumsikan ia ada di kamarnya. Selama beberapa saat, pikiranku cukup melayang menuju beberapa tahun terakhir ini .. Rian Suhandi. Kakak kelasku yang aku kenal ketika aku baru saja memasuki sebuah perguruan tinggi swasta di kota bunga itu. A...

Question of Life (?)

Sehabis berbincang-bincang dengan seorang teman, saya kemudian berpikir akan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali menjadi acuan akan jalan hidup seseorang. Pernah ada orang yang berkata pada saya kalau hidup seseorang itu dirancang hanya untuk mengikuti jalur yang sudah ada, yang kemudian menjadi tuntunan orang-orang untuk berani lancang bertanya pada orang lain akan hal-hal yang harusnya terjadi pada orang tersebut. "Mau kuliah dimana?" Pertanyaan pertama yang mulai saya dapatkan ketika saya berhasil lulus SMA. Pertanyaan yang seakan-akan memberi sejuta ton pemberat untuk hidup saya karena seolah-olah saya harus masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. "Kapan lulus?" Pertanyaan retorik basa-basi yang akan selalu ditanyakan semua orang melihat angka semester saya yang sudah semakin membengkak. Yang pada akhirnya menuntun saya pada masa-masa jatuh-bangun. Membuat saya hanya terpacu untuk cepat keluar dari tempat itu, membuktikan bahwa saya berhasil ...

My RainMan

Untuk aku dan dia, hujan adalah segalanya. Hujan adalah sebuah mediator yang membuat aku dan dia bertemu. Ketika hujan turun, aku akan selalu berlari menuju ke luar rumahku dan mencoba untuk merasakan setiap tetesannya berjatuhan di telapak tanganku. Berbeda dengan dia yang dengan santai berjalan dengan elok di bawah guyurannya. Untukku, itu terlalu memakan resiko, resiko kalau esok hari aku harus tetap berada di bawah selimut karena virus influenza yang gemar sekali mendatangi tubuh mungilku. Dan hujan .. membuat semuanya menjadi mustahil bagiku. Sebuah keajaiban kecil yang Tuhan beri untuk umatnya dan secara random meluncur ke hadapanku. Aku memanggilnya rainman, karena setiap kali aku bertemu dengannya hujan pasti akan turun. Terlepas dari prakiraan cuaca yang men- judge kampung halamanku ini sebagai kota hujan, hujan pasti akan selalu turun ketika ia ada. Pasti. "Kamu nggak bawa payung lagi?" tanyaku klise ketika ia berdiri di depan rumahku. "Ngg...